Lihat ke Halaman Asli

Wildan Hakim

Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Semangat Soekarnoputri untuk Maharani

Diperbarui: 1 Juli 2021   19:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puan Maharani saat memberikan pengarahan kepada kader PDI Perjuangan di Hotel Luwansa Manado. (sumber foto: kompas.com)

Pada 23 Juli 2001, Indonesia mencatatkan sejarah baru. Di hari itu, Megawati Soekarnoputri secara sah menjadi Presiden Indonesia ke-5 menggantikan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Terpilihnya Megawati menjadi bukti menarik, demokrasi di Indonesia sudah lebih maju dibandingkan Amerika Serikat.

Sepanjang sejarah Amerika Serikat, belum pernah ada presiden perempuan. Baru pada 20 Januari 2021 lalu, rakyat Amerika Serikat dipimpin oleh seorang perempuan bernama Kamala Devi Harris. Kamala Harris tercatat sebagai Wapres AS ke-49, mendampingi Joe Biden sebagai Presiden AS ke-46.

Bila dihitung sejak tahun kemerdekaan, Indonesia hanya butuh waktu 56 tahun untuk bisa melahirkan presiden perempuan yang berkuasa penuh memimpin pemerintahan. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang butuh waktu 244 tahun untuk bisa melahirkan pemimpin perempuan.

Amerika Serikat yang dikenal sebagai kampiunnya demokrasi, belum memberikan banyak kesempatan bagi perempuan untuk menjabat pucuk pimpinan eksekutif. Sementara, Indonesia dengan segala beban masalah di sektor ekonomi dan politik malah mampu membukakan pintu bagi Megawati untuk memimpin negeri ini memasuki milenium baru yang penuh tantangan.

Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri dengan segala kekurangan yang menyertainya tetap harus diapresiasi. Pada tahun akhir masa kepemimpinannya yakni pada 2004, Megawati bersama DPR menyetujui pelaksanaan Pemilihan Presiden atau Pilpres secara langsung. Sejarah baru ini terjadi saat Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan.

Meski kalah dalam Pilpres 2004, perempuan yang sudah menjadi vote getter untuk Partai Demokrasi Indonesia sejak 1987 silam itu tak berkecil hati. Risiko dalam kontestasi Pilpres sudah disadari betul oleh Megawati. Dalam buku Sang Kandidat (2004), mbak Mega berujar, “Kalah atau menang itu soal biasa. Yang paling penting, jangan sampai stabilitas keamanan terganggu oleh maraknya kampanye pemilihan presiden.”

Perempuan satu-satunya
Pada Pilpres 2004 lalu, Megawati menjadi satu-satunya perempuan di antara lima calon presiden yang berlaga. Empat rivalnya adalah laki-laki. Situasi yang dihadapi Megawati juga terbilang pelik, mengingat keempat rivalnya merupakan para politikus berpengalaman dan pernah punya kedekatan sebagai sesama pejabat negara. Susilo Bambang Yudhoyono dan Hamzah Haz merupakan dua tokoh yang dinilai dekat dengan Megawati.

Sebelum pencapresan, SBY menjabat Menko Polhukam yang bertanggung jawab kepada Megawati. Adapun Hamzah Haz merupakan Wakil Presiden yang usia jabatannya sama dengan Megawati. Dua nama lain yakni Wiranto dan Amien Rais merupakan figur yang sudah dikenal publik serta didukung mesin politik dan basis pendukung di wilayah tertentu.  Dua kali mengikuti kontestasi Pilpres yakni pada 2004 dan 2009 memberikan banyak pengalaman serta pelajaran bagi Megawati dan PDI Perjuangan.

Kemenangan Partai Demokrat dalam dua Pilpres berturut-turut, memaksa PDI Perjuangan menjadi oposisi dan sebatas mengawasi jalannya kekuasaan. Selama sepuluh tahun, PDI Perjuangan tidak menempatkan kadernya di kabinet. Baru pada 2014, perjuangan partai berlambang banteng ini menemukan momentumnya.

Di tahun itu, kalkulasi politik Megawati kembali diuji. Sejumlah survei membuktikan, elektabilitas kader PDI Perjuangan, Joko Widodo selalu unggul dibandingkan tokoh yang lain. Dorongan untuk menunjuk mantan Walikota Surakarta itu sebagai Capres terus bergema.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline