Lihat ke Halaman Asli

Wildan Hakim

Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Lebih Dekat dengan Efek Pengali Industri Migas

Diperbarui: 28 Agustus 2015   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kepala Humas SKK Migas Elan Biantoro saat memaparkan kontribusi industri migas terhadap Indonesia."][/caption]

Untuk ketiga kalinya ajang #Nangkring @kompasiana bersama #SKKMigas digelar. Pada #Nangkring ketiga ini Kompasianer diajak berdiskusi tentang Kontribusi Sektor Hulu Migas terhadap Indonesia. Tak banyak yang tahu, industri minyak dan gas di Indonesia punya multiplier effect yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia.

Data-data seputar multiplier effect industri migas ini dipaparkan secara gamblang oleh Kepala Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi Elan Biantoro. Pria kelahiran Yogyakarta ini menjelaskan dari awal, apa saja industri hulu migas dan perbedaannya dengan industri hilir.

Ditegaskan Elan Biantoro, industri migas merupakan lokomotif perekonomian Indonesia. Pendapatan dari migas menempati urutan kedua setelah pajak. Belum lagi multiplier effect-nya. Yang dimaksud multiplier effect ialah efek pengali dari aktivitas bisnis migas.

Kegiatan #Nangkring yang digelar pada Jumat 28 Agustus 2015 ini digelar di Kantor Pusat SKK Migas di Gedung City Plaza di Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan. Ada sekira 30-an Kompasianer yang ikut meramaikan ajang #Nangkring yang diramaikan juga dengan lomba Ngetweet dan Flash Blogging.

Kembali ke penjelasan Elan Biantoro, bisnis hulu migas hanya berkutat di eksplorasi dan eksploitasi. Atau dalam istilah mudahnya ialah cari dan gali. Dengan akivitasnya yang terbilang rumit dan butuh teknologi tinggi, kegiatan di sektor hulu ini harus diawasi dan dikendalikan. Nah, di situlah tugas penting SKK Migas.

Mengapa perlu diawasi? Ini untuk memastikan agar kontraktor migas tidak mengebor blok di luar areanya. Juga terkait dengan cost recovery-nya. Biar kita paham, cost recovery ini adalah biaya yang harus dikeluarkan kontraktor migas pada saat melakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi berhasil, barulah pemerintah mengganti biaya yang sudah dikeluarkan si kontraktor.

“Selama ini ada anggapan, pemerintah keluar duit untuk biaya eksplorasi migas. Padahal, yang jelas-jelas yang keluar biaya di awal adalah kontraktor dan bukan pemerintah. Pola ini dinilai lebih menguntungkan sebab risiko keberhasilan pengeboran ada di tangan kontraktor,” papar Elan Biantoro.

Menurut pria jebolan Geologi ITB ini, selama delapan tahun pertama kontraktor migas keluar biaya terlebih dahulu. Baru setelah minyak yang dibor keluar, para kontraktor ini mendapatkan keuntungan.

Pembagiannya adalah sebagai berikut. Dari 100% pendapatan migas, sebanyak 25% merupakan komponen cost recovery. Sisanya sebanyak 75% dibagi dua yakni untuk pemerintah dan kontraktor. Nah, porsi pendapatan pemerintah mencapai 55% dan jatah untuk kontraktor migas sebanyak 20%.

Dari sisi multiplier effect, Elan Biantoro menjelaskan, untuk $1 juta belanja di bisnis migas akan menghasilkan pendapatan atau revenue sebanyak $1,6 juta. Sementara itu, jumlah tenaga kerja yang diserap bisa mencapai 100 orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline