Lihat ke Halaman Asli

Wildan Hakim

Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Tantangan Memberdayakan Masyarakat Papua Barat

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1397711671260082150

[caption id="attachment_320312" align="aligncenter" width="448" caption="Salah satu aktivitas pemberdayaan masyarakat untuk membangun jalan di Kampung Udopi Distrik Manokwari Barat Papua Barat. Sumber foto: Nina Razad Wijaya"][/caption]

Memberdayakan masyarakat itu tak semudah yang dikonsepkan. Ada tantangan tak terduga di lapangan. Di Papua Barat, salah seorang fasilitator kelurahan PNPM Mandiri Perkotaan bahkan dipukul warga yang hendak dia fasilitasi.

Kasus pemukulan ini dialami Yafet, salah seorang fasilitator kelurahan (Faskel) sekira Oktober 2009 silam. Lokasinya di Desa Amban Distrik Manokwari Barat Kabupaten Manokwari Papua Barat.

Saat itu, seperti dituturkan tenaga ahli pelatihan Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) PNPM Mandiri Perkotaan Papua Barat Ari Acaf Paputungan, Yafet tengah menjalankan tugasnya memfasilitasi warga desa tersebut. Bersama sejumlah pimpinan kolektif Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM), Yafet tengah membahas proses pembangunan sumur yang nantinya diperuntukkan bagi warga desa.

Tetiba, muncul sekelompok warga desa menghampiri Yafet dan pimpinan kolektif LKM. Mereka meminta agar dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang sedianya dipakai untuk membiayai pembangunan sumur, diserahkan dalam bentuk uang tunai secara perorangan. Permintaan tersebut ditolak. Yafet berupaya menjelaskan, dana BLM adalah dana pembangunan. Penggunaannya dikelola oleh LKM dan harus sesuai kesepakatan warga.

“Kelompok warga yang meminta uang tunai ini menganggap dana BLM sama dengan dana Otonomi Khusus atau Otsus dan harus dibagikan secara orang per orang,” jelas Ari Acaf Paputungan.

Merasa tidak terima karena permintaannya ditolak, salah seorang warga memukul kepala Yafet. Guna menghindari bentrok, Yafet menghindar dan meninggalkan lokasi. Aksi pemukulan terhadap Yafet berbuntut. Keluarga Yafet tidak bisa menerima perlakuan tersebut. Kelompok warga yang memukul Yafet berasal dari suku Arfak. Adapun Yafet berasal dari suku Biak. Pemukulan terhadap Yafet rupanya merembet menjadi pertengkaran atas nama suku.

“Dua kelompok ini akhirnya dipertemukan di kantor polisi. Kelompok warga dari suku Arfak datang dengan dua truk. Keluarganya Yafet datang dengan tiga truk massa. Massa mendatangi kantor polisi. Akhirnya mereka didamaikan,” papar Ari.

Menurut Ari Acaf Paputungan, inilah salah satu kelebihan dari warga Papua Barat. Meski dikenal agak temperamental atau gampang marah, mereka mudah memaafkan. Dengan sifatnya yang seperti itu, masyarakat Papua Barat sebenarnya berpeluang besar untuk maju dan membangun. Mereka hanya ingin tidak dipinggirkan dan dianggap bodoh.

“Jangan ada tipu-tipu lagi. Ini ungkapan khas warga Papua Barat jika ada program pembangunan yang masuk ke desanya. Sebab, beberapa program pembangunan yang ada sebelumnya, hanya menjadikan warga Papua Barat terima jadi. Masyarakat tidak dilibatkan proses pembangunan. Ini yang harus benar-benar dijaga yakni membuat mereka percaya kepada kita,” pria yang bertugas di Papua Barat sejak September 2008 lalu ini.

Pendekatan budaya

Ari Paputungan menutur, pendekatan budaya wajib dilakukan sebelum terlibat aktif dalam kegiatan pemberdayaan di tengah masyarakat. Untuk Papua Barat, ada baiknya seluruh pelaku pemberdayaan membaur dengan masyarakat setempat. Pendekatan awal bisa dimulai melalui bahasa. Sehari-hari, masyarakat Papua Barat berbicara dengan bahasa melayu pasar. Bahasa ini, kata Ari, mudah dipelajari. Sebab, hampir sama dengan Bahasa Indonesia.

“Misalnya, untuk mengatakan kita, mereka akan bilang kitong, ” ujar Ari.

Melalui pendekatan budaya, seluruh fasilitator pemberdayaan diharuskan agar tidak menjaga jarak dengan masyarakat di lokasi dampingan. Seluruh fasilitator diminta bergaul akrab dengan warga. Cara ini dinilai efektif untuk membangun kepercayaan masyarakat baik terhadap program maupun kepada fasilitator yang ditugaskan.

“Selama ini, sebagian warga beranggapan, kemiskinan mereka dijual demi terlaksananya sebuah program. Ketidakpercayaan semacam ini bisa dihilangkan jika kita bergaul dan berkumpul sesuai kebiasaan mereka sehari-hari. Salah satu contohnya, kita ikut makan sirih seperti yang mereka lakukan,” jelas Ari Acaf Paputungan.

Melalui pergaulan yang akrab, seluruh fasilatator kelurahan selanjutnya diminta untuk mengenali lokasi dampingannya. Mereka diminta mengelilingi desa atau kelurahan agar kian mengenal wilayah maupun karakteristik penduduknya.

Kesabaran dan kesediaan memahami budaya warga setempat ini membuahkan hasil. Para fasilitator kelurahan atau Faskel makin akrab dengan warga lokasi dampingan. Saat musim panen buah tiba, para Faskel menerima kiriman buah-buahan dari warga.

“Itu terjadi, karena kita bisa meyakinkan warga bahwa kedatangan kita ini untuk mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik,” tegas Ari.

Menurut Ari, kemampuan membangun ikatan emosional antara fasilitator dengan warga menjadi salah satu kunci agar pemberdayaan masyarakat di Papua Barat berhasil.

“Posisi kita sama dengan mereka. Kita bagian dari masyarakat untuk mewujudkan harapan bersama,” pungkasnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline