Lihat ke Halaman Asli

Wildan Hakim

Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Menghadirkan Batik Lasem di GKPM 2014

Diperbarui: 15 Januari 2023   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14089635691773640737


Dengan telaten dibubuhkannya malam pada lembaran kain yang tengah dibatik. Pekerjaan yang menguras konsentrasi ini tak mengurangi senyumnya saat beberapa pengunjung bertanya kepadanya tentang proses membatik.

Itulah kesibukan Duriyanah saat mengikuti pameran Gelar Karya Pemberdayaan Masyarakat (GKPM) 2014 yang digelar di Jakarta Convention Centre Jakarta pada 21-24 Agustus 2014 kemarin. Duriyanah khusus didatangkan dari Lasem Rembang Jawa Tengah guna menunjukkan keterlibatan PNPM Mandiri Perkotaan dalam melestarikan warisan batik Lasem. Di sudut stan Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, perempuan asal Desa Babagan Lasem ini mempraktikkan teknik membatik yang disebut nembok.

"Nembok itu merupakan salah satu proses saat membatik kain. Tujuannya membubuhkan warna tertentu pada kain. Jadi, menutupi bagian-bagian yang kosong dengan warna tertentu. Nanti, kalau proses nembok ini sudah selesai, barulah lembaran kain ini dikelir atau dicelup untuk pewarnaannya," urainya.

Dijelaskannya, membatik merupakan kerja kelompok. Untuk satu lembar kain, proses membatiknya tidak bisa dikerjakan oleh satu orang saja. Tugas membatik biasanya dibagi. Mulai dari pembuatan pola saja, pembatikan pada pola yang sudah tertoreh di kain, pembubuhan warna tertentu pada bagian yang kosong atau nembok, pewarnaan, hingga pencelupan untuk melunturkan lilin yang menempel pada kain.

"Membatik itu susah dan prosesnya lama. Nanti kalau sudah jadi belum tentu langsung laku. Jadi, untuk mendapatkan uangnya juga tidak bisa cepat. Saya dan teman-teman, selama ini hanya bisa memproduksi. Untuk memasarkannya, kami biasanya titip ke pengusaha batik yang sudah besar di Lasem. Kadang ya dijual kepada teman sendiri agar lebih cepat laku," papar janda tiga anak ini.

Perkenalan Duriyanah dengan batik dimulai sekira dua tahun lalu. Kala itu di penghujung 2011, Duriyanah bersama sejumlah ibu di Desa Babagan mendapatkan pelatihan membatik selama empat hari yang didanai BNI. Berbekal ketrampilan dari pelatihan itulah, Duriyanah menggeluti batik sebagai pekerjaan sampingan guna mendapatkan tambahan penghasilan. Sebagai janda tiga anak, Duriyanah harus bisa melakukan banyak hal agar punya pendapatan guna membiayai hidup keluarganya.

"Setelah bisa membatik itulah, kami difasilitasi untuk mendapatkan pinjaman dari PNPM Mandiri Perkotaan. Pinjaman awal, besarnya dua juta lima ratus ribu rupiah untuk lima orang. Per orangnya menerima lima ratus ribu saja. Modal ini kami manfaatkan untuk membeli kain dan perlengkapan membatik lainnya. Terakhir, kami mendapatkan pinjaman sebesar dua juta rupiah per orangnya. Di Unit Pengelola Keuangan kami, pengembaliannya lancar lho mas," urainya.

Kesulitan pemasaran

Duriyanah mengakui, dia dan teman-temannya kesulitan memasarkan batik yang diproduksi Kelompok Swadaya Masyarakat atau KSM Bangau yang diketuainya. Kalau sebatas menitipkan kepada pengusaha batik besar dipastikan akan lama terjual. Sementara, KSM Bangau baru mampu memproduksi dan belum bisa memasarkan batiknya secara maksimal. Guna mendapatkan penghasilan tambahan, Duriyanah bersama anggota KSM-nya ikut menjadi pekerja pada pengusaha batik besar di Lasem.

"Jadi, kami ambil kain dari pengusaha batik tersebut. Kami secara berkelompok lalu membatik kain itu. Kalau sudah jadi ya disetorkan dan kami menerima bayaran," ujarnya.

Kendala lain yang dihadapi KSM-nya dalam membatik ialah pada saat proses mewarnai dan pencelupan untuk menghilangkan lilin pada kain. Pengerjaan dua hal ini, kata Duriyanah, dilakukan oleh kaum laki-laki. Untuk penggunaan cairan kimiawinya, Duriyanah juga mengaku tak banyak tahu.

"Kalau keahlian saya ya nembok itu tadi. Kalau untuk ngelir atau pewarnaan, kami selalu nitip ke pengusaha batik yang sudah besar itu. Biayanya mahal. Antara tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu," urai perempuan asal Babagan ini.

Dengan kondisi seperti itu, perempuan berkacamata ini mengaku belum bisa mengandalkan kegiatan membatik sebagai sumber pendapatan utama. Sehari-hari, Duriyanah bekerja sebagai penjahit di Pasar Lasem. Berbekal mesin jahit yang dimilikinya, perempuan berusia 45 tahun ini melayani penjahitan baju atau sekadar permak. Pendapatan menjahit, kata Duriyanah, memang tak tentu. Namun uang yang dihasilkan dari menjahit ini lebih cepat dibandingkan dari membatik.

Hadir di GKPM 2014

Kehadiran Duriyanah di GKPM 2014 menjadi pemandangan tersendiri di sudut stan Ditjen Cipta Karya Kementerian PU. Duriyanah hadir di GKPM 2014 dengan ditemani fasilitator kelurahan bidang sosial, Diana Pradipta Febriyanti. Selama empat hari berturut-turut, keduanya memajang dan mempromosikan batik Lasem. Beberapa siswa sekolah yang ingin berfoto dengan gaya membatik dengan ramah mereka ladeni.

Duriyanah dan Diana Pradipta Febriyanti tengah memamerkan batik Lasem

"Sini kalau mau pura-pura membatik sambil difoto. Kainnya dipegang, nah ini cantingnya," papar Duriyanah.

Kesempatan itu tak ayal dimanfaatkan beberapa siswa SMP yang singgah ke stan Ditjen Cipta Karya. Sesekali Febriyanti terlihat membuka lembaran batik Lasem yang diminati beberapa pengunjung pameran.

Batik merupakan kependekan dari banyak titik. Bermula dari torehan garis dan titik itulah, ada ratusan perempuan di Lasem Rembang yang menggantungkan pendapatannya dari membatik. Mereka dengan telaten membubuhkan titik demi titik di tengah himpitan hidup yang kian pelik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline