Konstelasi kehidupan mahasiswa sesaat setelah kemerdekaan banyak dipengaruhi oleh berbagai pemikiran-pemikiran kolonial yang mengarah pada kehidupan hedonisme, liberalisme, serta profanitas.Di sisi lain, kondisi bangsa Indonesia membutuhkan upaya untuk menopang dan meneruskan cita-cita kemerdekaan Indonesia, menjadikan tantangan tersendiri bagi kalangan-kalangan pemikir bangsa waktu itu, terutama mahasiswa. Berdirinya PMY (Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta) pada era mempertahankan kemerdekaan Indonesia diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan tersebut. Cita-cita untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia serta membangun Negara Indonesia yang demokratis, tercapai setelah terbentuknya partai-partai politik yang berlatarbelakang ideologi seperti Partai Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kebutuhan akan eksistensi partai-partai tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadikan kompetisi antar partai untuk menarik simpati semua elemen masyarakat secara massif dan komprehensif, tak terkecuali kalangan mahasiswa. Keadaan ini sangat mempengaruhi dinamika pergerakan mahasiswa. Dalam perkembangannya, PMY sangat condong terhadap ideologi komunisme yang dibawa oleh Partai Sosialis (PS). Ditambah dengan perilaku hedonsime yang jauh dari norma-norma beragama sebagian besar anggota PMY. Keadaan ini, menimbulkan pergolakan diantara mahasiswa Yogyakarta disertai rasa kecewa terhadap roda pergerakan PMY. Selain itu tuntutan dalam mengemban amanah perjuangan kemerdekaan yang disertai dengan pengamalan nilai agama menjadi suatu keharusan mahasiswa sebagai garda terdepan sebagai pemimpin bangsa. Pada tanggal 5 Februari 1947, sebanyak 15 Mahasiswa Islam Sekolah Tinggi Islam (STI), diprakarsai Lafran Pane, mendirikan organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia yang kita kenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Berbagai latar belakang telah diulas, HMI didirikan dengan tujuan yang sangat mulia, mengusung mission sacre melalui usaha-usaha yang selalu mengedepankan kepentingkan umat dan bangsa dengan didasari pemikiran bersifat independen guna menyelesaikan berbagai persoalan umat dan bangsa secara analisis-objektif. Oleh Karena itu, tidaklah heran apabila Jenderal Sudirman melalui pidatonya pada Dies Natalis HMI ke-1 pada tanggal 6 Februari 1947 mengatakan bahwa HMI lebih dari sekedar singkatan Himpunan Mahasiswa Islam, namun juga sebagai Harapan Masyarakat Indonesia (HMI). Oleh Karena itu, sebagai kader HMI, janganlah kita terlena dengan kehidupan hedonis-konsumtif yang dapat menjauhkan diri untuk selalu memikirkan nasib bangsa Indonesia yang lebih baik. Fundalisme nilai-nilai transendental harus dijadikan landasan berpikir kader HMI dalam upaya menyelesaiakan berbagai persoalan kemaslahatan umat. Dengan tetap menjunjung tinggi independensi organisatoris dalam sikap berorganisasi dengan menolak tegas menjadi underbow tendensi-tendensi politik praktis serta selalu menjunjung tinggi independensi etis dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengedepankan kejernihan berpikir rasional-objektif tanpa mendikotomisasi wawasaan ke-Islaman dan ke-Bangsaan antara . HMI akan tetap eksis dan dipercaya sebagai kalangan progresif-revolusioner yang mampu menjawab tantangan zaman.
HMI avant garde revolusi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H