Oleh; Muhammad Wildan Habibi*
Manusia tidak dapat dihindarkan dari ranah sosial kebudayaan,manusia diciptakan untuk menjadi human socity, kenapa tuhan menciptakan manusia sebagai human socity ? karena manusia dijadikan aktor dalam film yang bernama kehidupan, dan di dalam sebuah film tidak ada adegan yang menampilkan aksi personality,dan pasti semua aktor saling berkaitan satu sama lain, mungkin juga bukan hanya sebatas aktor tapi juga cakupan yang lebih luas misalnya antar kelompok dengan kelompok yang lain, ini sudah menjadi hukum perindustrian film bahwasannya orang baik akan berkontradiksi dengan orang jahat dan bahkan kelompok sparatis tak akan berhenti memikirkan cara liciknya untuk menguasai wilayah yang diinginkannya.
Dewasa ini kemajemukan hidup semakin kasat mata,seolah-olah tak ada lagi dan bahkan tak diperlukan lagi casting untuk pemeran tokoh bawang merah dan tokoh bawang putih dalam sebuah film kehidupan yang nyata ini,semuanya telah menyibukkan diri sendiri untuk menjadi tokoh dan kroni dalam genggaman rupiah hate politcy ,masyarakat diarak ke utara dan selatan terkadang juga diarak menuju timur tanpa sesekali di arak menuju kiblat dan pedoman yang benar, manusia dihadapkan dengan beragam wajah media yang menjadi pihak ketiga dalam sebuah kehidupan, jika dipikir secara halus, pertanyaannya mengapa mausia menjadikan media sebagai pihak ketiga dalam kehidupan yang nyata ini ? bukankah media mempunyai alam tersendiri yaitu alam maya dan juga manusia sudah mempunyai alam jagad raya yang telah berlangsung beribu-ribu abad ini ?
Makna media berasal dari bahasa indonesia, dan guru bahasa Indonesia saya mengatakan bahwasannya kata "media" itu mempunyai arti suatu penghantar atau penghubung, dalam artian tersebut bisa ditarik garis lurus, bahwasannya media tersebut hanyalah suatu penghubung dari hal satu kepada hal lain, bukan menjadi sumber yang harus dinilai kongkrit untuk menjadi pedoman arah keseharian umat manusia, inilah yang manusia moderen alami dan rasakan, yang pasti disetiap harinya diambang kebingungan dan lama-lama manusia moderen mengalami goncangan pikiran dan mental sehingga menjadikannya kembali kepada adat zaman purba, saling serang antar kelompok demi menguasai suatu wilayah dalam negri sendiri tanpa peduli dengan keadilan sosial dan kesejahteraan sosial bersama.
Membahas mengenai keadilan sosial, kita bisa menengok asas Pancasila dan pembukaan UUD 1945, dalam asas Pancasia sila ke-5 telah termaktub "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" disini bisa digambarkan bahwasannya keadilan sosial itu adalah hal yang sangat romantis dan harmonis dalam rumahtangga suatu negara, memang gambarannya indah akantetapi perjalanan pelaksanaanya itu yang tak mudah untuk digoreskan didalam keseharian kehidupan sosial, namanya aja keadilan sosial, apakah bisa terealisasi jika suatu keadilan dimandatkan kepada penguasa tertinggi disuatu negara ? tentu hal tersebut menjadi pekerjaan .rumah yang sulit bagi seorang menguasa negri, keadilan sosial hanya bias terealisasi jika mandat tersebut dipikul bersama-sama dalam lapisan elemen sosial.
Suatu arah bangsa menurut saya bukan hanya ditentukan oleh pemerintah saja, akan tetapi energi terpenting untuk menjalankan bangsa kearah yang adil dan makmur itu adalah masyarakatnya sendiri, ibarat tubuh manusia, pemerintah itu hanya anggota wajah manusia saja, otak dari pada tubuh bangsa adalah masyarakatnya sendiri, jika otaknya sudah tercuci dengan hal-hal yang menjijikan seperti doktrinisasi media yang lazimnya manusia moderen sangatlah bisa berpikir jernih untuk menerima hal seperti itu, jika asumsi media sudah menjadi makanan pokok ketiga setelah nasi dan kouta internet, maka telah terjadi perang dua kubu melempar peluru tak bertuan.
Dewasalah dalam memaknai isi media agar bangsa ini tak menjadi taman kanak-kanak, jadikanlah media sebagai bahan penyambung saja bukan bahan pemikiran dan rujukan sosial atau bahkan bahan kecaman kepada pihak yang lugu terhadapnya.(wil).