Semenjak Indonesia disebut sebagai negara dengan tingkat fatherless ketiga tertinggi di dunia, fenomena ini semakin mendapatkan perhatian publik. Fatherless berarti banyak anak di Indonesia yang kekurangan ayah. Meskipun dilansir dari Kumparan.com, tidak ada riset yang mengatakan bahwa Indonesia menjadi negara ketiga dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia, isu ini tetap penting untuk diangkat guna membantu masyarakat memahami peran ayah dalam keluarga.
Menurut Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti, "Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan." Dengan kata lain, ketidakhadiran sosok ayah dalam keluarga tidak selalu karena sang ayah meninggal, namun anak dengan ayah yang secara fisik masih ada tetapi lalai dalam menjalankan perannya juga dapat disebut anak fatherless.
Berdasarkan data yang diperoleh pada tahun 2021 dari UNICEF, sekitar 20,9% anak-anak Indonesia dibesarkan tanpa ayah. Sementara, data Susenas tahun 2021 menunjukkan terdapat 30,83 juta anak usia dini di Indonesia. Sekitar 826.875 anak usia dini, atau 2,67% dari jumlah total anak, tidak tinggal bersama ibu dan ayah kandungnya. Kemudian, sebanyak 2.170.702 anak usia dini atau 7,04% dari seluruh anak tinggal eksklusif hanya dengan ibu kandungnya. Hal ini menunjukkan bahwa 2.999.577 orang---dari 30,83 juta anak di Indonesia---telah kehilangan figur seorang ayah atau tidak tinggal bersama seorang ayah. Angka tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak di Indonesia yang belum merasakan kasih sayang, cinta, dan perhatian dari seorang ayah. Padahal peran seorang ayah sangat signifikan bagi anak, terutama anak usia dini.
Fenomena fatherless dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti kematian ayah, perceraian kedua orang tua, dan ayah yang pergi tidak bertanggung jawab. Selain itu, faktor seperti ekonomi, sosial, dan budaya juga dapat menjadi penyebab terjadinya fenomena ini. Contohnya yaitu karena budaya patriarki di Indonesia masih kental. Masih banyak di Indonesia yang meyakini bahwa peran laki-laki atau ayah dalam keluarga itu hanya bertanggung jawab dalam mencari nafkah. Sedangkan, urusan rumah tangga dan anak diserahkan kepada perempuan atau ibu sepenuhnya. Hal ini menyebabkan ayah-ayah di Indonesia berpikir bahwa mereka tidak perlu ikut andil dalam urusan pengasuhan anak. Padahal, sudah jelas bahwa keikutsertaan ayah juga sangat penting bagi perkembangan anak secara psikologis.
Selain itu, angka perceraian juga menjadi faktor utama terjadinya fenomena ini. Dari data yang diperoleh dari databoks, dalam kurun waktu 2021 - 2022 kasus perceraian di Indonesia mengalami kenaikan. Pada tahun 2021 kasus perceraian di Indonesia terjadi sebanyak 447.743. Lalu, pada tahun berikutnya angka ini naik menjadi 516.334 kasus. Perceraian ini dapat menyebabkan anak kehilangan salah satu orang tuanya karena anak akan diminta untuk memilih ikut ibu atau ayah. Sedangkan, kebanyakan anak usia dini memilih untuk ikut dengan ibu.
Fenomena fatherless ini tentu memiliki dampak yang signifikan pada anak, terutama pada psikologis anak. Anak yang merasakan ketiadaan sosok ayah cenderung akan memiliki perasaan rendah diri (low self-esteem), tidak percaya diri, kesulitan mengontrol emosi, dan bahkan terganggu kesehatan mentalnya. Kehilangan figur ayah juga dapat berdampak negatif pada prestasi akademik anak, keterlibatan mereka dalam kegiatan sosial, serta kemampuan mereka membangun hubungan interpersonal yang sehat.
Pemerintah dan masyarakat memiliki peran penting dalam menangani fenomena ini. Pemerintah dapat menawarkan langkah proaktif dalam merancang kebijakan yang mendukung anak-anak fatherless. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyediakan akses perawatan kesehatan dan layanan sosial yang tepat dan sesuai untuk membantu mengatasi trauma yang disebabkan oleh hal ini. Kemudian, pemerintah dapat memberikan penyuluhan-penyuluhan yang bertujuan untuk memberi pemahaman masyarakat mengenai peran penting ayah dalam keluarga. Selanjutnya, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan yang mendukung para ayah untuk menemani para ibu selama masa kehamilan, persalinan, dan kehidupan awal anak.
Masyarakat juga dapat ikut andil dalam membantu mengatasi fenomena fatherless ini. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mendukung para ayah di sekitarnya yang turut serta dalam pengasuhan anaknya alih-alih mencemoohnya. Pendidikan dan penyuluhan mengenai pentingnya peran ayah juga perlu diperluas agar masyarakat lebih memahami dampak positif keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak.
Pada dasarnya, untuk mengatasi fenomena fatherless di Indonesia diperlukan kolaborasi antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Kolaborasi antara ketiganya bisa menjadi kunci untuk menciptakan lingkungan yang mendukung para ayah melakukan perannya dalam keluarga secara tepat dan ideal penuh kasih sayang serta mendukung pengasuhan anak. Sehingga anak akan tumbuh dan kembang menjadi individu yang sehat dan bahagia dengan kasih sayang dan cinta yang cukup dari kedua orang tuanya, termasuk sang ayah.
Selain itu, solusi utama untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan kesadaran kedua orang tua akan peran masing-masing dalam suatu keluarga. Apabila suatu pasangan dirasa belum siap untuk menjadi orang tua, baik itu secara finansial, emosional, atau faktor lainnya, maka ada baiknya jika pasangan tersebut bersiap-siap dahulu sebelum berkeluarga. Kelalaian pasangan dalam menilai kapan mereka siap berkeluarga akan berdampak besar pada anak mereka kelak nanti. Ini bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk memastikan bahwa setiap anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan perhatian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H