Di Indonesia, awal demokrasi ditandai dengan Pemilu (Pemilihan Umum) langsung pada tahun 1955 hingga saat ini kita kenal dengan Pileg, Pilpres, Pilgub, Pilbup,Pilkades yang mana salah satu proses sosialisasinya melalui media sehingga media saat ini pun terpolarisasi menjadi beberapa kepentingan bisnis, politik dan Seterusnya. Abraham Lincoln pada tahun 1967 (dalam Jumhar Poti, 2011) mengatakan bahwa demokrasi sebagai governmens of the people, by the pople, and for the people. Lebih lanjut, Jumhar Poti mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Tanpa demokrasi, kreatifitas manusia tidak mungkin dapat berkembang. Prinsip dasar dari sebuah demokrasi yaitu bahwa demokrasi berkaitan dengan interaksi sesama manusia dan dalam keterkaitan itu terdapat saling memahami. Jimly Asshiddiqie (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008) berpendapat bahwa demokrasi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan pers. Sebagai pilar demokrasi yang keempat, pers turut berperan besar mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara yang demokratis di dunia. Untuk itu, kebebasan pers dalam berekspresi harus dilindungi dalam konstitusi seperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap individu (termasuk pers) dalam menyampaikan pendapat. Di Indonesia, pengakuan kebebasan berpendapat baru secara eksplisit dijamin dalam konstitusi pada era reformasi, pasca dilakukan perubahan terhadap UUD 1945. Lebih lanjut, Jimly mengatakan bahwa kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat merupakan komitmen pertama yang ada di dalam UUD 1945.
Kebebasan berasal dari kata bebas yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa). Kebebasan bermakna keadaan bebas; kemerdekaan. Dalam konteks pers, kebebasan yaitu dapat mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media massa. Fred S. Sibert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, 1956 (dalam Empat Teori Press, 1986:88) membagi kategori teori-teori pers di dunia dalam empat teori, yaitu teori pers otoriter, teori pers bebas (liberatarian), teori pers bertanggungjawab sosial,dan teori pers komunis Soviet. Menurut Jumhar Poti (2011), empat teori pers tersebut secara umum sudah banyak menjadi tulisan dan pembahasan oleh akademisi media. McQuail (1991:95), menambahkan dua teori pers lagi, yaitu teori pers pembangunan dan teori pers partisipan demokratik. Teori pers pembangunan oleh McQuail dikaitkan dengan negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki ciri-ciri sistem komunikasi yang sudah maju pada tahun 1967, dengan berdirinya Press Foundation of Asia menawarkan konsep jurnalisme pembangunan yang mendapat sambutan bagi negara-negara berkembang.
Sebagai negara demokrasi, sudah semestinya Indonesia menjamin kebebasan pers dalam berekspresi dan kebebasan pers. Sebab, apa yang diperjuangkan oleh pers sama dengan prinsip negara, yakni demokrasi, rule of law, dan social welfare. Pers diharapkan dapat berperan sebagai pengawas (watch dog function) untuk mengungkap kebenaran dan kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintah atau yang memiliki kekuasaan. Pers di Indonesia pernah mengalami masa kelam pada era tahun 1968-1998. Saat itu, pers pemerintahan Indonesia cenderung menganut sistem otoritarian dimana kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dibatasi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah dibawah kendali orde baru, sehingga media massa tunduk di bawah kekuasaan pemerintah.
Begitu besarnya kontrol pemerintah terhadap media massa pada saat orde baru tersebut, seolah kran-kran pers dikunci rapat oleh pemerintah, akibatnya pers tidak dapat memberikan informasi yang akurat dan terbuka (transparancy) kepada masyarakat, media tidak dapat mengkritik kebijakan pemerintah yang menyimpang, kritik dibungkam dan sistem oposisi diharamkan, yang ahirnya penyimpangan yang dilakukan pemerintahan itu berakibat seperti semakin merajarelanya korupsi, kolusi, nepotisme, pembangunan yang tidak merata, bertambahnya kesenjangan sosial, ketika media massa tidak bebas untuk menyampaikan informasi maka pengetahuan masyarakat tentang informasi yang sebenarnya termarjinalisasikan. Kasus yang paling terlihat dengan banyaknya surat kabar dan majalah yang dibreidel, seperti kasus majalah Tempo dan majalah Detik pada tahun 1997, karena tidak tunduk pada pemerintah yang berkuasa, maka kedua koran dan majalah tersebut dibreidel, begitu ketatnya pengawasan pemerintahan yang otoriterian terterhadap kebebasan pers. Namun pasca order baru, pers di Indonesia kembali mendapatkan angin kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat. Namun, saat ini peran media massa tidak jarang justru menjadi bias, karena apa yang disuguhkan oleh media massa sarat dengan kepentingan. Media massa tidak selamanya jujur tapi mengandung pesan tertentu.
Kebebasan media massa saat ini telah menjadi kebablasan. Misalnya seperti kasus pertikaian antara Indonesia dan Malaysia yang diekspos secara berlebihan dan tidak berimbang sehingga menimbulkan kebencian di antara masing-masing negara. Dilain Pihak Media di negara kita juga tidak bisa memposisikan diri sebagai media yang independen dalam memberikan informasi ke publik pada akhirnya masyarakat terbagi dalam beberapa kelompok saat mendapatkan informasi yang simpang siur. Menurut saya, kebebasan yang dimililiki oleh pers dalam berekspresi dan berpendapat haruslah kebebasan yang bertanggungjawab. Sebab, kebebasan pers menurut Denis McQuail (1987: 126), harus diarahkan agar dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat dan khalayaknya. Kebebasan bukan segala-galanya atau bukan tanpa batas, sama halnya dengan demokrasi. Demokrasi juga membutuhkan tegaknya tatanan hukum dan ketertiban, tanpa semua itu, demokrasi menjadi tidak mungkin. Semestinya kebebasan hak-hak untuk berkomunikasi yang disampaikan oleh media massa tetap menjadi sarana utama dan eksklusif bagi tindakan sistem politik. Kebebasan pers yang bertanggungjawab memiliki arti penting dalam demokrasi. Banyak sekali peran yang dilakukan oleh media massa dalam menjalankan fungsi pers dalam mewujudkan sistem negara yang demokrasi. Salah satunya adalah media massa juga merupakan sebagai penyaluran informasi (to inform) yang benar dan terpercaya, agar masyarakat mendapatkan pengetahuan dan mengetahui perkembangan terkini. Namun, agar media massa dikatakan demokrasi dalam menjalankan peranannya terutama dalam menunjang menyampaikan informasi, maka perlu adanya kebebasan pers dalam menjalankan tugas serta fungsinya secara professional. (McQuail, 2002: 208).
Pembatasan Kebebasan Pers Mengenai nilai-nilai kebebasan pers sendiri, hal tersebut telah diakomodir di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, yaitu diatur dalam Pasal 28, Pasal 28 E Ayat (2) dan (3) serta Pasal 28 F. Oleh karena itu jelas negara telah mengakui bahwa kebebasan mengemukakan pendapat dan kebebasan berpikir adalah merupakan bagian dari perwujudan negara yang demokratis dan berdasarkan atas hukum. Kebebasan pers tidak pernah berarti kebebasan tanpa kontrol. Negara demokratis lazim memiliki batasan-batasan. Setidaknya, ada enam hal yang perlu dibatasi dalam kebebasan pers, yaitu: 1) menyebarkan kebencian; 2) konten pencabulan dan pornografi; 3) melakukan fitnah dan pencemaran nama baik; 4) iklan yang berbohong (deceptive advertising); 5) promosi zat yang tidak layak dikonsumsi anak dan remaja (misalnya rokok); 6) pembocoran rahasia negara yang dapat membahayakan keselamatan negara. Oleh karena itu, kebebasan pers perlu diberikan pembatasan-pembatasan paling tidak melalui rambu hukum, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh pers, dapat menjadi pemberitaan pers yang bertanggung jawab.
Apabila dalam pemberitaan pers digunakan sebagai alat untuk memfitnah atau menghina seseorang atau institusi dan tidak mempunyai nilai berita, dan di dalam pemberitaan tersebut terdapat unsur kesengajaan dan unsur kesalahan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Jadi yang perlu ditekankan di sini adalah, pidana tetap harus diberlakukan terhadap pelaku yang dengan sengaja melakukan penghinaan atau fitnah dengan menggunakan pemberitaan pers sebagai media. Sementara kebebasan pers untuk melakukan pemberitaan jika memang dilakukan secara bertanggung jawab dan profesional, meskipun ada kesalahan dalam fakta pemberitaan tetap tidak boleh dipidana. Upaya mencegah agar pembatasan kebebasan tersebut takberdampak pada melemahnya daya kontrol pers terhadap mereka yang berkuasa dengan menerapkan self regulation yang dibuat sendiri oleh industri media. Self regulation merupakan mekanisme pengaturan yang dikembangkan industri media atau komunitas media untuk meregulasi diri mereka sendiri sehingga tidak merugikan kepentingan publik. Self regulation dikembangkan untuk membuktikan bahwa tanpa campur tangan negara dan pihak lain, media akan memanfaatkan kebebasan yang dimiliki secara bertanggungjawab. Jadi, tidak ada kewajiban hukum formal yang mengikat. Bentuk dari self regulation dapat berupa code of ethics, code of practice, professionalism standard, and voluntary ratyng system.
Dalam sebutan social responsibilty (tanggung jawab sosial) yang dicetuskan oleh Robert Hutchins (1942). Ada 4 syarat yang diberikan kepada pers sehingga kebabasan yang diberikan kepada pers tidak menjadi kebablasan, yaitu:
1) pers melayani demokrasi;
2) pers tunduk kepada masyarakat;