Lihat ke Halaman Asli

"Peringatan Darurat" Sebuah Perjuangan

Diperbarui: 23 September 2024   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.suara.com/tekno/2024/08/22/070944/ramai-gambar-peringatan-darurat-berlambang-garuda-biru-apa-itu

Artikel ini membahas tentang kejadian yang akhir-akhir ini sedang hangat diperbincangkan di mana masyarakat beramai-ramai bersuara menyatakan protes terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dianggap telah mengangkangi konstitusi dengan tidak mematuhi Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024. Badan Legislasi DPR berupaya melakukan revisi terhadap UU Nomor 6 Tahun 2020 yang bertolak belakang dengan hasil keputusan MK.

Ambang batas pencalonan (Treshold) kepala daerah yang diatur dalam UU Pilkada adalah 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam pemilihan legislatif sebelumnya, yang kemudian ditinjau kembali oleh MK dan diputuskan pada tanggal 20 Agustus 2024 menjadi 6,5%-10% suara sah sesuai dengan jumlah penduduk. Hanya berselang satu hari, yaitu pada tanggal 21 Agustus 2024, Badan Legislatif DPR mengeluarkan putusan bahwa ambang batas tersebut hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Selain itu, batas usia calon gubernur yang diatur dalam UU Pilkada adalah minimal 30 tahun dan batas usial calon bupati atau wali kota adalah minimal 25 tahun, dalam Putusan MK diubah menjadi minimal 30 tahun saat ditetapkan sebagai calon gubernur oleh KPU dan minimal 25 tahun saat ditetapkan sebagai calon bupati atau wali kota oleh KPU. Akan tetapi, Badan Legislatif DPR mengeluarkan putusan bahwa batas usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota adalah pada saat dilantik.

Keputusan MK ini menciptakan kesempatan baru unutuk pihak yang memiliki jumlah suara yang tidak terlalu besar untuk dapat berkontestasi di ajang pemilihan kepala daerah ini seperti Anies Baswedan yang didukung oleh partai-partai kecil ataupun PDI-P yang dapat menajukan pasangan calon kepala daerah tanpa berkoalisi. Tetapi, tindakan DPR yang berusaha mengabaikan Keputusan MK dengan melakukan revisi terhadap UU Pilkada ini dianggap sebagai aksi untuk menjegal bakal calon tersebut dan juga DPR dianggap mempermainkan hukum.

Jika dilihat dari aspek legalitas, sebenarnya UU Pilkada ini termasuk dalam kategori Open Legal Policy yang mana peraturan dengan kategori ini merupakan peraturan yang kewenangan untuk menetapkan, memutuskan, atau meninjau kembali peraturannya berada di tangan si pembuat peraturan yang dalam hal ini adalah DPR. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan meninjau kembali Undang-Undang atau peraturan yang setara Undang-Undang terhadap UUD 1945 memiliki sifat yang final dan eksekutorial atau wajib dilaksanakan. Sehingga, walaupun DPR sebagai pembuat Undang-Undang, tetapi karena MK sudah mengeluarkan putusan terhadap peninjauan kembali peraturan tersebut, maka segala macam bentuk tanggapan dari DPR berupa revisi atau peninjauan kembali dianggap inkonstitusional karena berupaya mengabaikan Keputusan MK. Sebenarnya, Keputusan MK atas peninjauan kembali terhadap UU Pilkada ini hampir mirip dengan Keputusan MK atas peninjauan kembali terhadap UU Pemilu mengenai umur calon wakil presiden beberapa waktu yang lalu, tetapi bedanya dalam keputusan tersebut tidak ada reaksi dari DPR untuk berupaya mengabaikan keputusan tersebut.

Putusan Badan Legislatif DPR yang inkonstitusional ini seketika memantik reaksi masyarakat untuk menyatakan protes. Masyarakat beranggapan bahwa DPR berupaya melegalkan berbagai macam cara hanya untuk memperlancar beberapa oknum untuk melenggang bebas di pentas pemilihan kepala daerah dan DPR juga berupaya menjegal pihak oposisi yang ingin ikut serta dalam kontestasi pemilihan kepala daerah tapi tidak memiliki treshold yang mencukupi. Masyarakat pun sontak bereaksi melalui media sosial, menyatakan cekaman terhadap putusan Badan Legislatif DPR itu.

Bentuk protes masyarakat awalnya disalurkan di media sosial X dengan tajuk "Garuda Biru Peringatan Darurat" yang pertama kali diunggah oleh akun X @BudiBukanIntel pada 21 Agustus 2024. Gambar itu merupakan tangkapan layar dari berbagai unggahan video fiksi Emergency Alert System (EAS) Indonesia Concept. Dalam karya fiksi mereka, lambang Garuda Pancasila berlatar biru merupakan siaran darurat dari pemerintah ketika muncul 'entitas asing' yang membajak negara. "Peringatan darurat terhadap warga sipil aktivitas anomali yang baru saja dideteksi oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia," demikian bunyi peringatan.

Dengan munculnya tajuk Peringatan Darurat ini, masyarakat pun berbondong-bondong menyatakan bentuk protes mereka terhadap DPR dengan menggunakan lambang Garuda Biru tersebut dan juga tagar #KawalPutusanMK. Masyarakat bersatu padu menyatakan cekaman terhadap DPR yang telah berupaya melakukan tindakan inkonstitusional dengan mengabaikan Putusan MK tersebut. Pergerakan perjuangan masyarakat ini tidak hanya berhenti di media sosial saja, tetapi gerakan Peringatan Darurat ini berlanjut menjadi tindakan demonstrasi yang dilakukan di depan gedung DPR RI pada tanggal 22 Agustus 2024 demi memastikan bahwa suara mereka didengar langsung oleh anggota DPR yang sedang berkantor di dalam gedung kecintaan mereka tersebut. Gelombang protes bukan hanya terjadi di Jakarta saja, tetapi juga terjadi di kota-kota besar lainnya.

Protes "Peringatan Darurat" dari masyarakat ini dapat diartikan sebagai bentuk bagaimana masyarakat merespons suatu krisis yang terjadi di negaranya, ini merupakan salah satu bentuk implementasi pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan dapat menekankan pentingnya kesadaran akan potensi ancaman dan kesiapsiagaan dalam menghadapi situasi darurat, dalam hal ini situasi darurat terjadi karena usaha DPR untuk mengabaikan putusan MK yang seharusnya bersifat final dan eksekutorial. Selain itu, dalam tindakan protes ini masyarakat juga menunjukan tanggung jawabnya terhadap negara sebagai pengawas pemerintahan, sehingga ketika pemerintah melakukan tindakan yang menyimpang maka masyarakat pun wajib menyatakan protes. Hal ini menimbulkan sifat kritis masyarakat terhadap pemerintah karena bagaimanapun juga nasib negara ini dipertaruhkan di tangan pemerintah sehingga masyarakat wajib bersikap kritis terhadap setiap kebijakan yang dicetus pemerintah. Pendidikan kewarganegaraan berperan aktif dalam hal ini sehingga masyarakat dapat memberikan partisipasi aktif dalam menjalankan pemerintahan yang baik yang sesuai dengan konstitusi.

Bentuk protes masyarakat terhadap keputusan DPR ini menunjukan bukti bahwa masih ada rasa cinta akan tanah air di dalam jiwa masyarakat Indonesia, gelombang protes yang datang silih berganti secara masif baik dari media sosial maupun secara langsung di depan gedung DPR RI atau gedung pemerintahan lainnya menunjukan bahwa masyarakat Indonesia dapat bersatu untuk memperjuangkan keadilan di tanah air ini. Perjuangan masyarakat Indonesia ini tidaklah sia-sia, melainkan membuahkan hasil yang memuaskan. DPR melalui Sufmi Dasco (Wakil Ketua DPR) menyatakan bahwa revisi UU Pilkada batal disahkan dan yang akan berlaku pada saat pendaftaran Pilkada tanggal 27 Agustus 2024 adalah Keputusan  MK No. 60/PUU-XXII/2024 dan No. 70/PUU-XXII/2024.

Panjang umur perjuangan. Panjang umur keadilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline