Masalah health information system atau sistem informasi kesehatan (SIK) yang terpecah-pecah di negara-negara berkembang salah satunya Indonesia menjadi masalah yang perlu diatasi. Masalah umum yang dihadapi banyak organisasi, termasuk organisasi kesehatan saat ini adalah beberapa sumber informasi dan repositori yang berbeda termasuk basis data, penyimpanan objek, basis pengetahuan, sistem file, perpustakaan digital, sistem pencarian informasi dan sistem surat elektronik, dan sebagainya. Dengan kasus contoh di Namibia SIK didorong oleh mitra pengembang menyebabkan banyaknya program vertikal yang didukung oleh banyak donor, karena banyaknya program vertikal yang didukung oleh donor menghasilkan sistem informasi yang tidak terkoordinasi yang bertentangan dengan tujuan perawatan kesehatan utama dari sistem informasi kesehatan yang terintegrasi, adanya duplikasi fungsi dan sejumlah besar sistem beroperasi secara silo di berbagai departemen di Kementerian Kesehatan dan Layanan Sosial (Ministry of Health and Social Services/MoHSS). Ketika sistem terfragmentasi, informasi yang diperoleh dapat tidak konsisten dan kontradiktif. Sumber data yang tumpang tindih, direplikasi atau terputus-putus baik jenis data yang disimpan seperti pada objek aktual tertentu. Oleh karena itu, kebutuhan untuk bergerak ke arah SIK yang terintegrasi muncul di Namibia. SIK terpadu akan meningkatkan efisiensi pengambilan data dan juga menghasilkan data besar yang bila diproses akan mengurangi beban pengambilan keputusan di sektor kesehatan dengan memberikan informasi terkini.
Terdapat 446 fasilitas kesehatan di Namibia yang berada di bawah berbagai otoritas manajemen, termasuk pemerintah, nirlaba swasta dan misionaris, LSM, Kementerian Pertahanan dan kepolisian. Semua fasilitas tersebut bertujuan untuk memberikan layanan perawatan, walaupun terfragmentasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi SIK yang integrasi yaitu tujuan organisasi, kekuatan legislatif, aksesibilitas layanan kesehatan dan divisi digital. Sementara ada sejumlah kebijakan dan strategi sektoral nasional dan layanan kesehatan. Saat ini tidak ada strategi atau kebijakan khusus HIS untuk memandu proses evaluasi SIK menuju SIK yang terintegrasi. MoHSS membutuhkan SIK dalam kategori operasional dan administratif yang dikelompokkan sebagai berikut: data layanan rutin, pengawasan penyakit, pemantauan dan evaluasi program, layanan kesehatan tersier, layanan kesejahteraan sosial, informasi terapi dan input farmakologis, dewan kedokteran nasional, catatan administrasi dan survei sensus, serta statistik vital.
Terdapat kebutuhan mendesak dalam mengatasi masalah integrasi SI yang berbeda serta penyimpanan data dari 446 fasilitas kesehatan di Namibia agar pengambil keputusan mendapatkan akses informasi secara tepat dan efisien. Upaya akuisisi SIK yang tidak terkoordinasi menyebabkan SIK terfragmentasi. Tiga tingkat integrasi sistem informasi: fisik, aplikasi, dan bisnis. Jika ketiga tingkatan tersebut terpenuhi, maka platform sistem yang terintegrasi tersebut akan bersifat independen, heterogen, dan menggunakan sumber terdistribusi. Dari 67 SIK yang teridentifikasi dalam sektor kesehatan Namibia, hanya tiga sistem yang terintegrasi untuk manajemen pencatatan pasien (DHIS2, EPI INFO, dan eHealth).
Tantangan integrasi terletak pada kurangnya standar interoperabilitas, kurangnya pengidentifikasian unik untuk catatan pasien, keamanan data dan privasi, kurangnya kerangka kerja untuk integrasi, kurangnya SDM untuk mengembangkan dan mendukung sistem terintegrasi, rendahnya tingkat konektivitas internet di Namibia, resistensi terhadap perubahan dalam adopsi sistem terintegrasi. Di beberapa bagian Namibia jaringan internet tidak dapat sepenuhnya diandalkan, sumber platform SIK sejauh ini tidak terkoordinasi dan mengarah pada masalah interoperabilitas platform heterogen serta kebutuhan akan tenaga kerja terampil.
Integrasi akan mendukung analisis data untuk pengambilan keputusan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu diperlukan integrasi data SI, proses dan infrastruktur sehingga data dari berbagai sumber dapat dianalisa dan digunakan dalam pengambilan keputusan kesehatan. Selain itu, dibutuhkan komitmen dari para pembuat kebijakan di sektor kesehatan untuk memastikan keberhasilan integrasi SIK.
Secara garis besar permasalahan yang dibahas dalam jurnal ini tidak jauh berbeda dengan keadaan SIK di Indonesia saat ini. SIK yang ada di Indonesia saat ini belum seluruhnya terintegrasi. Melihat dari perkembangan SIK yang hanya terfokus di pulau Jawa saja, dan belum merata di seluruh Indonesia terutama di daerah-daerah terpencil menyebabkan sistem tersebut belum terintegrasi dengan baik. Selain itu, pengetahuan mengenai penggunaan sistem ini belum tersosialisasikan secara merata kepada seluruh pengguna sistem. Diperlukan adanya guideline mengenai penggunaan sistem ini agar pengguna baru dapat mempelajari penggunaan sistem tersebut. Dibutuhkan pula penyimpanan data yang besar untuk menampung data dari seluruh sistem kesehatan yang ada di Indonesia. Semakin besar penyimpanan sistem yang dibutuhkan maka semakin besar pula dana serta tenaga ahli untuk memelihara sistem agar tidak menjadi berat dan membutuhkan banyak ruang penyimpanan hardware. Sistem sebaiknya dibuat user-friendly untuk memudahkan pengguna baru, sehingga tujuan pembuatan sistem dapat tercapai (Kemenkes RI, 2011).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H