Lihat ke Halaman Asli

Paradigma Masayarakat yang Menyelimuti Agama

Diperbarui: 9 Maret 2020   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agama merupakan fenomena universal yang selalu melekat dalam diri manusia, oleh karenanya kajian tentang agama selalu mengalami perkembangan dan menjadi kajian penting seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. 

Namun, hingga saat ini dari sekian banyak definisi yang dikedepankan oleh para teoritis agama tidak mendapatkan kesepakatan untuk menafsirkan agama itu sendiri. Keragaman terhadap definisi agama, mendapatkan banyak warna sehingga memunculkan sebuah titik temu bahwa agama tergantung dari sudut mana seseorang memandangnya. 

Para ahli teolog memandang bahwa agama sebagai seperangkat aturan yang datang dari “Tuhan” sementara para psikolog, antropolog dan sosiolog memandang agama sebagai ekspresi manusia dalam merespon terhadap permasalahan kehidupan yang melingkupi banyak hal.

Secara bahasa, agama berasal dari bahasa Sanskerta diambil dari suku kata ‘a’ yang berarti tidak, dan ‘gama’ yang berarti kacau. Jadi, agama memiliki makna tidak kacau, atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. 

Sedangkan menurut KBBI, agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan  (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, serta tata kaidah pergaulan manusia dengan manusia dan lingkungannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, definisi terhadap agama semakin menyempit serta memiliki konsep yang jelas. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh Edward Burnett Tylor yang mendefinisikan agama sebagai kekuatan supranatural dan memandang agama mirip dengan magis, lalu terdapat pendapat lain dari James George Frazer yang memandang magis merupakan jalan menuju agama. Kemudian, pengertian agama yang lebih mengerucut ini menjadi berkembang lagi seperti yang dikemukakan oleh Sigmund Freud dan Karl Max, kedunya mendefinisikan agama sebagai kepercayaan kepada Tuhan ( keyakinan Monotoeisme) meskipun sekedar permukaannya saja.

Agama merupakan suatu gejala yang sering “ada di mana-mana” sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat abstraksi ilmiah. Agama berkaitan dengan usaha-usaha pribadi seorang manusia dari keberadaannya baik untuk kehidupan pribadi maupun alam semesta.. Penulis-penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui.

Dalam kacamata para pakar teolog, psikolog serta antropolog maka agama akan di interpretasikan sebagai berikut:

Para teolog memaknai agama sebagai seperangkat ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, anatara manusia dengan manusia lainnya, serta antara manusia dengan lingkungannya. Menurut perspektif sosiologi mereka menggambarkan bahwa terdapat dua bentuk utama. Pertama bersifat empiris, dalam studi sosiologi tentang agama berupaya mendasarkan interprestasinya pada data, yakni berupa suatu pengalaman-pengalaman yang kongkrit. Kedua bersifat objektif bahwa interprestasi-interprestasi mereka tentang agama berdasar data yang ada bukan menurut yang seharusnya.

Selanjutnya saat seorang psikolog  mengungkapkan argumentasinya, mereka mengatakan bahwa agama dipahami sebagai penyakit mental. Dari sudut pandang William James mendefinisikan agama sebagai “segala perasaan, perilaku dan pengalaman manusia individu dalam kesunyiannya, sejauh mereka memahami dirinya sendiri berada dalam kaitan dengan segala apa yang dianggap sebagai Tuhan.”

Dalam pandangan antropolog  agama diartikan sebagai sebuah ekspresi manusia di dalam tanggapannya terhadap yang supranatural. Yang menjadi karatketristik agama dalam hal ini adalah kepercayaan pada roh yang befikir, berttindak dan merasa seperti manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline