Berapa umur saya sekarang? Di atas 50 tahun. Its old, mungkin too old untuk mengikuti life style generasi milenial saat ini. Generasi yang seluruh kehidupannya diambil oleh teknologi digital. Lets see, 3 anak saya, dari mereka buka mata, setelah kewajiban ibadah, sholat subuh dan sebagainya, pasti langsung ke meja belajar. Dengan laptop di meja, berjajar dengan smartphone, dan tablet untuk menggambar, menulis, ada di sampingnya. Dan sesekali, peralatan podcast akan dipakainya jika dibutuhkan. Dan itu baru berhenti jika saatnya mereka tidur. Tidak dihitung jeda-jeda ketika mereka harus sholat, makan, ke kamar mandi dan kegiatan lain yang mengharuskan mereka berhenti di depan laptop.
Mereka menghabiskan hampir 16 jam dari 24 jam yang mereka miliki dalam sehari, bekerja, bersosialisasi, belanja, main game, nonton film, dan kuliah online mengingat pandemic ini, - semua kegiatan dilakukan di rumah -dengan laptop dan smartphone mereka. Bisakah dibayangkan, 3 anak, dengan 3 smarphone, 3 laptop, semua dalam kondisi aktif dan membutuhkan kuota yang begitu besar? Mari berhitung, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan paket data atau bandwith. Berlangganan internet rumah kurang lebih RP. 400.000,00 sebulan. Mengisi pulsa masing-masing Rp. 100.000,00x3 + Rp. 300.000,00 plus pulsa ibunya jadi total Rp. 400.000,00 +Rp. 400.000,00 = Rp. 800.000,00. Itu dana yang harus dikeluarkan tiap bulan. Itu angka yang besar, apalagi mengingat wabah covid dimana pemasukkan pasti menurun.
Jujur saya merasa tersesat dengan kemajuan teknologi informasi ini. Secara usia sudah tak lagi muda, tentu tidak secepat anak-anak belajar untuk menguasai teknologi ini. Belum lagi ketika melihat anak-anak, ada aja yang dikerjakan dan dilakukan dengan menggunakan internet, padahal saya sering mati gaya di depan laptop. duh mau ngapain dengan teknologi ini. Well, oke, saya cuma ibu rumah tangga, yang punya sekolah TK dan Play group di rumah. Mungkin, dulu tak terbayangkan bahwa saya harus mengajar anak-anak usia dini dengan menggunakan teknologi ini. Saya tak pernah membayangkan bahwa anak-anak yang usianya dibawah 6 tahun ini, harus juga belajar menggunakan teknologi digital ini untuk memperoleh bahan-bahan bagi mereka untuk beraktifitas di rumah. Menyimak video yang kami buat, berkomunikasi dengan bunda-bundanya melalui smartphone, merekam aktifitas mereka di rumah dan mengupload videonya melalui wa dan dikirim ke wa sekolah.
Saya jadi merasa jungkir balik. Beberapa bulan yang lalu saya masih dan paling menganjurkan pada orangtua murid untuk menjauhkan anak-anak usia dininya dari smartphone. Ajak anak-anak berkomunikasi lebih sering dengan orangtuanya, bangun komunikasi positif, bacakan buku, ajak jalan-jalan dan mengeksplorasi lingkungan sekitar, ajak bermain dan menggunakan fisik mereka untuk melakukan banyak kegiatan. Dan sekarang, saya harus menggunakan gadget ini untuk mengirim bahan pembelajaran, mengirim video, berkomunikasi dengan anak-anak. Jadi dimana konsistensi larangan saya mengenalkan smartphone ke anak-anak usia dini karena kekhawatiran mereka hanya akan asyik menonton youtube, main game, dan kemudian terasing dari lingkungan dan menghambat kemampuan fisik, motorik dan sosialnya? Belum lagi jika tak sengaja terpapar pornografi..duh...
Baiklah, kembali ke masalah biaya yang harus dikeluarkan dengan banyaknya anggota keluarga yang membutuhkan kuota data yang besar untuk mendukung aktifitas mereka. Berlangganan internet rumah merupakan salah satu pemecahan yang sangat membantu karena bisa digunakan oleh seluruh anggota keluarga, namun ketika semua menggunakan bersama-sama dengan data yang dibutuhkan besar, pasti kecepatannya akan melambat. Belum lagi melambatnya kecepatan ini justru sering terjadi di jam-jam kantor dan jam sibuk. Nyebelin pastinya dan sangat mengganggu anak-anak, terutama jika mereka ada meeting melalui zoom, atau harus upload data yang sangat besar untuk. Maka layanan digital telco ke dua harus ada dan tersedia, tentu dengan harga yang lebih murah, kecepatan yang memadai dan harus "worry free" terhadap kuota dan masa aktif kartu. In fact, banyak juga kartu yang hagus terbakar, karena terlambat mengisi, atau memang belum membutuhkan untuk menambah pulsa, karena pemakaian lebih sering menggunakan wifi rumahan. Belum lagi baru beli pulsa, tiba-tiba pulsa sudah habis entah ke mana. Provider ini harus anti sedot pulsa dan pastinya membuat excite everyday life.
Well, ketika tak sengaja membaca ads di instgram tentang provider switch, lalu meluncur ke website dan mencari ulasan-ulasan tentang provider switch ini, thats it, ini dia provider yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak di rumah. Setelah berdiskusi dengan anak-anak, nampaknya, kami semua sepakat untuk men-switch simcard provider lama kami dan ready to switch yang jelas lebih ramah dan mengerti kebutuhan anak-anak. sehingga mereka bisa lebih lancar beraktifitas di dunia maya, membuat mereka lebih bebas berekspresi, dengan segala aktifitas positif yang ibunya ga bakalan bisa mengikuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H