Keceriaan, ritual mewah, dan antusiasme tinggi merupakan tiga hal yang lumrah ditemukan pada prosesi upacara kematian khas umat Hindu di Bali, atau kerap disebut sebagai upacara Ngaben. Penentuan ritual ini juga tidak serta merta ditentukan pada sembarang waktu, memerlukan penanggalan serta hari baik untuk melaksanakan upacara yang termasuk ke dalam golongan upacara Pitra Yadnya ini.
Upacara ini umumnya dilaksanakan antar keluarga inti dari orang yang telah meninggal, namun beberapa keluarga ada yang mengadakan upacara ngaben secara massal untuk menghemat biaya dan tentunya semakin banyak pesertanya akan semakin meriah upacara yang dilaksanakan.
Ritual ngaben ini juga merupakan realisasi dari terpeliharanya tradisi -- tradisi Hindu Bali yang terus berjalan secara turun -- temurun pada setiap generasi, membuat esensi Bali sebagai Pulau Dewata tidak serta merta memudar, tergerus oleh moderenisasi yang terus mengalami perkembangan waktu.
Bali dengan kekentalan tradisi tradisionalnya, tentu menarik sejumlah pemikiran mengenai bagaimana setiap upacara -- upacara adat yang dilaksanakan memuat arti baik secara konotasi maupun denotasi sebagai salah satu daya tarik esensial dalam setiap langkah -- langkahnya.
Secara harfiah, ngaben memiliki arti menyucikan roh agar dapat menuju tempat peristirahatan terakhir dengan suci, juga merupakan penghormatan terakhir dari anggota keluarga terhadap orang yang telah meinggal dunia. Makna lainnya yang terkandung pada ritual ini adalah untuk membuat wujud fisik manusia kembali menyatu dengan tanah dengan cara dibakar.
Dalam hindu, api berkaitan erat dengan Dewa Brahma, dimana jiwa atau roh yang berada dalam tubuh diantarkan oleh Dewa Brahma menuju Sang Pencipta. Masyarakat Hindu di Bali mempercayai bahwa manusia terdiri dari tiga lapisan yang disebut dengan raga sarira, suksma sarira, dan antahkarana sarira.
Raga sarira merupakan tubuh fisik manusia, suksma sarira adalah pikiran, atau perasaan sementara antahkarana sarira merupakan jiwa yang membuat setiap manusia hidup atau Sanghyang Atma.
Ketika manusia menemui titik ajalnya, maka ketiga lapisan ini tidak akan berfungsi kembali, sehingga apa yang telah mati harus dikembalikan eksistensinya pada alam dimana semua mahluk hidup berasal, salah satunya pada tanah (pertiwi). Sehingga proses pengembalian inilah yang disebut dengan Upacara Pitra Yadnya Ngaben, dengan Dewa Brahma sebagai medium untuk menghantarkan manusia kembali pada alam.
Para umat Hindu percaya, bahwa kepergian tidak seharusnya diiringi dengan tangisan dan kesedihan, kepergian suatu atma kembali kepada penciptanya merupakan hal yang setiap insan patut syukuri, karena dengan begitu jiwa yang telah meninggalkan raga sariranya tersebut tidak memiliki penyesalah tertinggal dan dapat kembali melebur dengan alam pada moksa atau kembali lagi melalui samsara.
Segala proses yang dialami dari lahir hingga mati merupakan hal mutlak bagi setiap manusia untuk dijalani, ketika kita bertemu dengan kehidupan, maka disanalah kematian. Sebuah esensi yang serupa dengan dimana ada kebaikan disanalah keburukan ada bagai dua sisi pada koin receh.