Mbah Darto merupakan tetua di RT 03 dusun Tangkilan. Selain beliau seorang lelaki tua duda yang telah kehilangan pasangan hidup semasa aku masih duduk di kelas 2 SD yaitu tahun ajaran 2007/2008. Beliau menjadi panutan, juga seorang "kaum" (panggilan untuk seseorang yang memimpin genduri).
Di siang hari, beliau tidak jauh beda dengan masyarakat Tangkilan lainnya dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Seperti bangun tidur merebus air, menyapu pekarangan, memandikan sapi ke sungai, mencari rumput dan seterusnya.
Pada hari Kamis Wage, tetangga sebelah yang bekerja sebagai mandor tebu yaitu Pakde Parjio mempunyai hajatan mengirim doa untuk para leluhur mereka. Masyarakat Tangkilan masih "njawani", meskipun sekarang adalah era globalisasi di mana jarang orang percaya dengan hal-hal yang berhubungan dengan ritual leluhur yang telah meninggal.
Bagi yang masih percaya dan dengan sepenuh hati "nguri-uri" adat masyarakat Tangkilan, maka urutannya yaitu sur tanah,7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Setelahnya bagi yang mampu yaitu membuat candi di pemakaman. Jika tidak, kapan pun bisa dilakukan semampu keluarga yang ditinggalkan.
"besok gendurinya konfem hari apa dan jam berapa?" Tanya Bude Parjio ke suaminya yang sedang minum teh panas sambil menulis di buku kecil.
"hari Kamis Wage setelah ba'da Ashar." Jawab Pakde Parjio tanpa menoleh ke istrinya yang sedang duduk di kursi rotan sambil melihat tivi.
Bagi masyarakat Tangkilan yang mempunyai hajatan, meski hanya hajatan kecil-kecilan maka jauh-jauh hari akan membuat perencanaan agar hajatan dapat terlaksana dengan lancar.
Berapa orang yang akan diundang untuk kenduri, siapa saja yang akan menjadi "laden" (: yaitu orang yang membagikan minuman, snack, berkat dan lain-lain), siapa yang akan disuruh untuk "undhang-undhang" (: yaitu orang yang mengundang untuk datang genduri), berapa banyak tikar yang dibutuhkan, siapa yang akan menyembelih kambing dan seterusnya.
Ketika itu juga, Bude Parjio mulai berpikir mengenai bahan makanan apa saja yang dibutuhkan untuk acara hajatan.
Berapa kg beras, berapa kg telur, genduri mentah atau makanan siap saji, akan belanja di mana, siapa saja yang diundang untuk rewang, bagaimana dengan piring sendok serta peralatan masak perlu menyewa atau tidak dan seterusnya.
Sambil menggeleng tanda begitu banyak hal yang dibutuhkan untuk acara hajatan kirim doa leluhur.