Banyak formula yang digunakan dalam menetapkan struktur dan skala gaji di beberapa Perusahaan besar, termasuk Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.
Tulisan ini tidak akan membahas secara detail mengenai hal itu.
Gaji yang saya maksud di sini adalah duit yang "kita bawa pulang setiap bulan" (take home pay), artinya gaji pokok ditambah tunjangan tetap, dan tunjangan ataupun insentif laonnya, lalu dipotong dengan pajak penghasilan, BPJS, dan potongan lainnya, itulah take home pay.
Untuk karyawan harian, berlaku keputusan Pemerintah seperti yang kita kenal dengan Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kota dan Kabupaten.
Sedangkan untuk karyawan pada level staff ataupun pengawas, dalam hal ini Pemerintah tidak campur tangan.
Lantas bagaimana Perusahaan Perkebunan Sawit menetapkan gaji untuk para mandor, mandor I, asisten, askep, estate manager, chief estate manager sampai general manager?
Sebagai contoh, ketika pada tahun 90-an, upah minimum karyawan harian sekitar Rp 50.000,- sebulan. Gaji seorang asisten lapangan fresh graduate waktu itu adalah Rp 450.000,- (9 kali).
Namun kenaikan UMK yang relatif lebih tinggi, mengharuskan Pengusaha untuk setiap tahun meninjau daftar skala gaji para staff baru mereka.
Misalnya saat ini UMK di suatu Kabupaten adalah Rp 2,5 juta per bulan, maka tidak ada Pengusaha yang mau membayar gaji seorang fresh graduate sebesar Rp 22,5 juta. Lantas berapa wajarnya?
Pada pendapat saya, Pengusaha jangan menekan gaji fresh graduate sampai ke tingkat yang relatif rendah! Kalau gaji mereka disamakan dengan UMK, maka secara psikologis akan menurunkan motivasi mereka.
Lebih parah lagi ketika take home pay mereka lebih kecil daripada karyawan harian yang notabene adalah anak buah mereka. Kenapa itu bisa terjadi?