Lihat ke Halaman Asli

Kekayaan Hati

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Baru saja saya sempat menulis untuk pertama kalinya di sini, beberapa waktu lalu saya sempat membaca apa yang tulis oleh Mas Annas Cahyadi, dengan judul "pemuda indonesia jangan mau jadi pegawai". Apa yang ia sampaikan sangat-sangat menarik, pada kesempatan ini saya hanya ingin meninjau perihal tersebut lebih jauh dari sudut pandang yang berbeda.

Apa yang menjadi motivasi Mas Annas, bisa kita tangkap dari postingannya, adalah bagaimana kita bisa menjadi TUAN di rumah sendiri dan bukan budak dari kepentingan barat. Berangkat dari pernyataan di atas, saya kira perlu juga bagi kita untuk tetap memahami perihal ini secara lebih komprehensif, jangan sampai jadinya kita sebagai Tuan malah memperbudak "saudara-saudara" kita sendiri, perbudakan yang ada bisa kita amati pada kebanyakan di masyarakat kita, yang belum mampu untuk memanusiakan manusia, dengan pemberian gaji dan atau upah yang jauh dari kelayakan dan kecukupan. Intinya kalau tidak mau dirugikan, ya mbok jangan merugikan yang lain.

Saya lebih senang menyikapi fenomena ini sebagai sebuah tantangan daripada hambatan atau rintangan, lebih tepatnya saya ingin menantang temen-temen pembaca untuk menjadi TUAN di Rumah Sendiri, dengan menjadi pedagang mungkin. Kedua bagaimana teman-teman pembaca mampu memberi hidup (menghidupkan) dan bukan menghidupi pegawai yang ada, dan yang terakhir adalah bagaimana karyawan yang bekerja bersama kita saat ini, kita motivasi agar Ia segera menjadi Tuan dan menjadi pesaing kita.

1.     Menjadi Tuan di Rumah sendiri.

Menjadi Tuan rumah merupakan mimpi setiap kita, sekarang pertanyaannya adalah bagaimana mimpi ini bisa diwujudkan dalam kehidupan yang sekarang. Satu hal yang pasti, tidak ada yang gratis di bumi ini, semuanya butuh pengorbanan—waktu, uang dan ide-ide yang kreatif. Semuanya perlu kita usahakan dengan DUIT, Doa, Usaha, Istiqfar, dan Tawakal.

2.     Mampu menjadi Tauladan.

Sebagai manusia yang hidup berdampingan, tentu saja kita akan saling membutuhkan dan saling belajar untuk menjadikan diri kita lebih baik, bahkan tanpa berbuat apapun masyarakat akan tetap menjadi cerminan diri kita sendiri untuk evaluasi dan instropeksi.

Bukankah kita yang sekarang juga merupakan kontribusi dari masyarakat sekitar? Jika jawabannya Ia, maka sudah sepantasnya kita ikut berkontribusi dalam perkembangan masyarakat di sekitar kita. Lebih jauh, bagaimana setiap nafas kita bermanfaat bagi kehidupan ini? Einstein pernah mengatakan bahwa manusia yang menjalani hidupnya secara tak bermanfaat bagi makhluk lainnya, bukan saja tak beruntung, akan tetapi nyaris tak layak bagi kehidupan. Saya pikir, apa yang perlu kita berikan tidaklah perlu banyak dan yang berat-berat, kita hanya perlu belajar menjadi seperti matahari, yang memberi kehidupan dan bukan memberi kenisbian.

3.     Meledakkan potensi karyawan.

Setelah mampu menjadi tauladan, tentu saja kita perlu memberikan kebebasan pada karyawan kita untuk berkembang dan menjadi Tuan, serta menjadi kompetitor. Kebanyakan dari kita tidak mau melakukan hal yang ke-tiga ini, dikarenakan masih banyaknya kekotoran bhatin, kedengkian, kebencian, kemelekatan kita terhadap harta (bukan pada tanggung jawab), terjebak pada keinginan untuk terus memenuhi nafsu yang tiada habis-habisnya. Bukankah apa yang kita miliki dalam kehidupan ini adalah apa yang kita berikan kepada saudara kita, lingkungan kita, serta bumi ini, tempat dimana kita berpijak? Ketika pengetahuannya telah didapatkan, marilah kita membangun masyarakat kita untuk berdikari seperti yang diinginkan oleh Bapak Bangsa kita.

Artikel ini saya buat demi kecintaan saya kepada masyarakat kita, dan sebagai bentuk pengembangan dari artikel saudara Annas yang sangat menarik bagi saya pribadi. Saudara Annas sangat ingin kita menjadi Tuan di Negara kita sendiri, kalau saya boleh menambahkan, saya ingin kita bisa hidup berdampingan dengan kekayaan hati, kita bersatu bagaikan sapu lidi yang terikat jadi satu dan bukan lidi yang tercerai berai dari batangannya.

Secara umum, untuk menjadi manusia yang seutuhnya, kita perlu memanusiakan manusia-manusia yang lain, tanpa adanya perbedaan dan terus menjadi diri sendiri, yang mau bekerja keras dan mampu mengelola kekayaan Negara kita dengan tangan-tangan anak bangsa. Disini, perlu kita saling mengingatkan bahwa keinginan yang besar haruslah diimbangi dengan kekuatan yang besar.

http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2011/10/28/pemuda-indonesia-jangan-mau-jadi-pegawai/




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline