Lihat ke Halaman Asli

Harga Elpiji Bukan untuk Dipolitisasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terhitung 1 Januari 2014, PT Pertamina (persero) menetapkan harga baru untuk gas elpiji tabung ukuran 12 kilogram. Bukan cuma naik, sekarang muncul pula masalah baru yakni ancaman kelangkaan gas. Tidak sedikit warga yang biasa menggunakan gas 12 kg beralih ke gas ukuran 3 kg, yang akhirnya membuat gas dengan 'tabung melon' itu ikut-ikutan sulit ditemui di pasaran.

Pertamina berdalih terpaksa menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram sebagai akibat dari bisnis yang terus merugi. Untuk tahun 2013 saja, Pertamina mengklaim kerugian hingga sekitar Rp7 triliun. Kerugian ini ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan yang akhirnya ditindaklanjuti Pertamina dengan menaikkan harga gas non-subsidi tersebut.

Pertamina mengungkapkan bahwa kondisi bahan baku elpiji di pasaran sudah mencapai Rp10.700 per kg. Beban Pertamina semakin bertambah saat kurs dollar semakin menekan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, kontroversi kebijakan Pertamina menaikkan harga gas elpiji, mulai menjurus pada perang opini yang saling menyalahkan, mulai dari para politisi bahkan hingga di lingkungan kabinet Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono.

Sebagai masyarakat, kita patut mencermati, apakah Pertamina menaikkan harga elpiji tersebut wajar dan memang harus dilakukan atau memang ada kepentingan lain? PT Pertamina (persero) mengaku tetap rugi meski harga elpiji naik 67 persen di awal tahun 2014. Itu disebabkan ada selisih dari pembelian dan produksi yang dilakukan Pertamina tanpa ditanggung oleh negara. Namun kerugiannya bisa diperkecil menjadi Rp3 triliun dibanding jika tidak naik. Selama enam tahun terakhir, Pertamina merilis mengalami kerugian bisnis elpiji non subsidi kemasan 12 kg telah mencapai Rp22 triliun.

Di balik itu, tak salah pula jika kita curiga, kenaikan harga gas elpiji 12 kg ini dimanfaatkan untuk tujuan politik jelang pemilihan umum yang sudah di depan mata. Salah satu yang aneh adalah, tidak adanya back-up dari pemerintah. Pejabat-pejabat yang sebenarnya paling bertanggung jawab terkait masalah ini, yaitu Menteri Perekonomian atau Menteri Energi Sumberdaya Mineral serta Menteri BUMN.

Di media massa, mereka mempertontonkan keluguan yang dipaksakan dengan menyebut bahwa kenaikan harga gas elpiji murni dari Pertamina tanpa ada koordinasi dengan pemerintah. Apakah hal seperti itu dapat dipercaya?

Belum lagi partai politik yang seakan berlomba-lomba mengeruk keuntungan dari kisruh kenaikan gas ini. Sekarang, hampir dapat dikatakan tidak ada partai politik atau pejabat pemerintah yang berani tampil di garda terdepan membela Pertamina. Semuanya mengecam Pertamina, semuanya tampil heroik seolah membela publik. Apakah sikap mereka bisa dipercaya?

Bagaimanapun, sebagai perusahaan plat merah, kebijakan yang dikeluarkan Pertamina pastilah berjalan lurus dengan pemerintah. Karena itu, pemerintah harus bertanggung jawab. Tak elok jika menjadikan Pertamina bulan-bulanan dalam kasus ini.

Apa yang dihasilkan dalam rapat terbatas yang digelar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin, sudah tepat. Pertamina diminta mengkaji ulang kenaikan harga gas elpiji 12 kg. Lalu, Pertamina dan menteri-menteri terkait juga diminta melakukan rapat konsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pertamina diberi waktu 1x24 jam untuk melakukan peninjauan ulang itu bersama menteri terkait. Presiden juga mengundang BPK untuk melakukan konsultasi dengan pemerintah dan Pertamina agar solusi dan tindakan terkait Pertamina tetap sesuai dengan hasil audit dan rekomendasi BPK.

Kita sadar, tahun 2014 ini adalah tahun politik. Ini adalah tahun dimana partai politik dan para pelakunya membangun pencitraan positif.

Jika usulan Pertamina tentang kenaikan harga LPJ 12 Kg dari Rp 70.200/tabung menjadi Rp 95.600/tabung dikabulkan pemerintah, dampaknya akan luar biasa terhadap pola hidup masyarakat, bahkan sampai merubah peta politik Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 besok.

Jika benar-benar akhirnya dinaikkan, kebijakan tidak populer tersebut akan amat merugikan posisi tawar partai pemerintah. Sementara partai 'oposisi', seperti PDIP atau Gerindra, bakal gemuk dalam perolehan Pemilu 2014, atau bahkan calon presiden dari partai tersebut lebih banyak mendapat simpati masyarakat ketimbang calon presiden dari partai pemerintah (Prtai Demokrat).

Kalau Pemerintah jadi menaikan harga LPG di atas 100 ribu sudah pasti partai oposisi akan tepuk tangan karena, kenaikan harga elpiji ini tentu akan sangat mudah dijadikan kartu truf oleh partai oposisi sebagai serangan dan menyudutkan Pemerintah dan Partai Demokrat.

Partai yang tidak proo pemerintah (oposisi )tentu akan sangat mudah mengatakan bahwa, pemerintah sudah tidak memikirkan rakyat kecil. Namun harapan partai oposisi agar harga lpiji tetap naik kandas, namun yang terjadi harga LPG batal naik, oposisi marah-marah. Mereka berharap PD dan PAN makin tidak populer karena dibenci rakyat akibat harga mahal.

Indonesia ada 3 pilar posisi partai terhadap mamsyarakat. Pertama posisi partai pemerintah, seperti Partai Demokrat atau yang cukup dekat dengan pemerintah, PAN. Kedua posisi partai tak berjenis kelamin, seperti PKS dan Golkar. Ketiga partai yang tidak pro pemerintah (oposisi), seperti Gerindra dan PDIP.

Kita tentu sangat bersyukur karena harga Elpiji 12 Kg tidak jadi naik secara signifikan karena jika benar naik di atas harga 100 ribu tentu akan mengecewakan masyarakat terhadap partai pemerintah. Disisi lain, tokoh dari Gerindra, seperti Prabowo Subianto akan mengambil untung banyak dalam pilpres 2014 besok. Sedang tokoh-tokoh dari partai tak berjenis kelamin, bisa tetap bagus namanya bagi masyarakat jika pintar dalam bermanuver.(**)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline