Lihat ke Halaman Asli

Wijaya Kusumah

TERVERIFIKASI

Guru Blogger Indonesia

Diskusi Buku: Pesan Murid untuk Guru

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1385423259134279256

Senang sekali rasanya bisa mengikuti kegiatan diskusi buku Pesan Dari Murid Untuk Guru. Apalagi, diskusi ini dihadiri oleh penulisnya secara langsung. Tentu sebagai peserta diskusi saya salut dengan penulis buku ini. Di usianya yang masih muda kala itu (pelajar SMA) sudah mampu memberikan masukan kepada gurunya dalam bentuk tertulis. 

“Siapapun bisa melakukan kesalahan”, kata William, penulis buku ini. Jadi jangan pernah mengangap guru selalu benar, dan murid selalu salah. Kalau ada yang masih seperti itu, maka sekolah seperti neraka. Murid tidak perlu tunduk sepenuhnya pada sekolah karena murid tidak sama dengan kerbau. Begitu isi buku William yang saya kutip di bagian belakang cover bukunya.

Dengan difasilitasi yayasan obor yang bertempat di Jl. Plaju No. 10 Tanah Abang Jak-Pus, dan dibuka langsung oleh ibu Kartini, diskusi buku ini menjadi lebih semarak. Banyak buku terpajang rapi, dan membuat saya ingin sekali membaca buku-buku itu. Lebih meriah lagi karena pengupas buku ini adalah kang Sopyan yang merupakan anggota Ikatan Guru Indonesia (IGI). Sedangkan moderator acara ini adalah pak Hotben, mantan kepala sekolah SMK BPK Penabur yang sangat berpengalaman dalam memimpin sebuah sekolah.

Buku ini tercipta dari ketidakpuasan seorang anak SMA terhadap sekolahnya. Kurangnya dialog antara murid dan guru tidak menciptakan suasana sekolah yang adil dan demokratis. Sekolahpun menjadi tidak menyenangkan. Buku Pesan dari Murid untuk Guru memberikan masukan kepada para pendidik agar mampu menjadi fasilitator, dan motivator bagi siswanya, serta mampu mengedepankan dialog dalam aktivitas pembelajarannya. Itulah yang membuat peserta didik menjadi bintang dan bersinar. Oleh karenanya, saya merekomendasikan buku ini agar dibaca oleh banyak guru di Indonesia.

Kekerasan sebaiknya dijauhi, dan mari kita mulai dengan cinta dan kasih sayang antara murid dengan gurunya sehingga menjadikan sekolah seperti DISNEYLAND, dan bukan menjadi “penjara” bagi peserta didiknya. Wiliiam menyindir sekolahnya dengan sebuah tulisan di cover depan bagian dalam bukunya, Indonesia sudah merdeka sejak lama, namun sekolahku belum mengetahui hal itu.

Menurut saya, judul buku ini sangat menggelitik dan dahsyat. Ada latar belakang yang membuat keluar ilmu jenius penulisnya. Walaupun saya membaca kilat, dan cepat buku ini, saya menangkap ada kegelisahan William saat itu. Dalam kegelisahan itu William mencoba mencari solusi tepat. Solusi tepat itu adalah menuliskan buah pemikirannya dalam bentuk buku dan menohok langsung pihak sekolah yang akhirnya melakukan instrospeksi diri untuk memperbaiki manajemen sekolahnya.

Pemikiran anak muda yang bernama William yang menuliskan buku ini sangatlah bagus, dan saya sangat memberikan apresiasi kepadanya. Tulisan dan pemikiran William memang luar biasa, seperti apa yang dia tuliskan di bawah ini.

Peran serta lembaga pendidikan dalam menumbuhkan paham nasionalisme sebelum kemerdekaan Indonesia harus diakui amatlah besar, tetapi pekerjaan rumah bagi lembaga pendidikan tidaklah usai seiring dengan kemerdekaan per 17 Agustus 1945. Lembaga pendidikan Indonesia, khususnya sekolah mengemban amanah dan tanggung jawab penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara menyeluruh sebagaimana diamatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sekolah dianggap sebagai sebuah institusi formal yang memuat segala bentuk  pengetahuan, nilai, dan keutamaan bagi anak didik dalam prosesnya menjadi manusia Indonesia yang bertanggung jawab, dan demokratis. Sampai di titik ini tidak ada yang salah.

Hal kemudian yang  menjadi salah adalah terstigmanya pandangan anak didik Indonesia yang menganggap sekolah sebagai sebuah lembaga anti kritik dan oleh karenannya segala sesuatu yang diberikan sekolah adalah yang terbaik dan anak didik tidak memiliki kesempatan untuk berpikir kritis di dalamnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline