Lihat ke Halaman Asli

Wijaya Kusumah

Guru Blogger Indonesia

Pentingnya Pendidikan Keteladanan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Membaca koran Kompas Selasa, 3 Mei 2011 di kolom opini halaman 7 tentang pendidikan watak yang dituliskan oleh Bapak Mochtar Buchori, membuat saya terinspirasi untuk membuat sebuah tulisan yang berjudul Pentingnya Pendidikan Keteladanan. Sebuah artikel yang lebih mengarahkan peserta didik untuk mampu memancing ikan, dan menemukan kreativitas dan imajinasinya dari keteladanan orang dewasa. Pentingya sebuah pendidikan bagi manusia sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun sayangnya, kelakuan tidak bermoral dan perbuatan negatif lainnya seperti korupsi di negeri ini justru dilakukan oleh mereka yang telah mendapatkan pendidikan. Bahkan mereka itu telah mendapatkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau universitas. Itulah yang membuat kita miris.

Mengapa banyak orang pinter di negeri ini menjadi keblinger? Apa yang menyebabkan mereka seperti itu? Pintar tetapi tersesat jalan. Pendidikan macam apa yang telah mereka lalui sehingga otak lebih dominan ketimbang watak. Pasti ada yang salah dalam implementasi pendidikan watak. Kesalahan itu mudah saja dilihat karena minimnya pendidikan keteladanan.

Pendidikan watak hanya menjadi sebuah teori yang miskin aplikatif. Kejujuran menjadi barang mahal di era persaingan global. Takwa menjadi kata yang mudah diucapkan tetapi sulit dijalankan. Kita pun menjadi orang yang munafik. Seolah-olah kita telah menjadi seorang ustadz yang bijaksana di kampung maling.

Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Urgensi Pendidikan dimulai dari manusia dilahirkan dari rahim ibundanya. Seorang anak bagaikan kertas putih yang siap dituliskan isinya. Orang tuanyalah yang akan membentuk karakter atau watak anaknya. Oleh karenanya pendidikan keluarga adalah pendidikan yang sangat penting di dalam frase pertumbuhan anak. Bila pendidikan dalam keluarganya baik, maka ketika sang anak berhadapan dengan lingkungan sekitarnya akan berusaha untuk menyampaikan kebaikan. Hati nuraninya akan berontak ketika ada sesuatu yang tak sesuai hati nuraninya. Di situlah sebenarnya peran penting ayah dan ibu. Tak salah bila kitab suci selalu mengingatkan, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.

Ketika pendidikan keluarga telah berjalan baik, maka ada jenjang pendidikan formal yang harus mereka lalui. Orang banyak biasa menyebutnya sekolah. Di jenjang sekolah itulah pendidikan harus berjalan baik, dan sesuai dengan defenisi di mana peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki: 1. Kekuatan spiritual keagamaan, 2. Pengendalian diri, 3. Kepribadian, 4. Kecerdasan, 5. Akhlak mulia, 6. Keterampilan

Dari keenam hal di atas nampak jelas bahwa tujuan bersekolah seharusnya sesuai dengan definisi pendidikan yang sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003. Namun dalam kenyataannya seperti jauh panggang dari api. Sekolah belum menghasilkan peserta didik yang secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Kenapa hal itu sampai terjadi? Karena banyak dari pendidik tak menguasai konsep dasar dari pendidikan itu sendiri. Bahkan banyak guru yang belum mampu memberikan contoh atau teladan yang baik dari tujuan bersekolah. Janganlah heran bila kita lebih mudah melahirkan generasi yang berotak cerdas daripada generasi yang berwatak cerdas. Cerdas otak tanpa disertai cerdas watak akan melahirkan generasi keblinger seperti apa yang dikhawatirkan oleh pengamat pendidikan bapak Mochtar Buchori.

Sekarang saatnya kita mulai melakukan instrospeksi diri yang dimulai dari diri sendiri. Coba tanyakan kepada diri apakah pendidikan watak telah sampai ke otak dan hati nurani kita? Bila pendidikan watak lebih dominan, maka hati tak akan rusak oleh gemerlapnya kehidupan dunia yang fana ini. Dia tak akan pernah korupsi atau berbuat curang karena kekuatan spiritual keagamaan telah bersemi di dalam hati orang yang mengaku telah beragama dan menyembah Tuhannya.

Begitupun dengan pengendalian diri. Peserta didik yang sudah diberikan bekal bagaimana mengendalikan dirinya akan jauh lebih bijak dalam bertindak karena matang dalam berpikir. Tidak mudah emosi dan mampu mengendalikan dirinya dari hal-hal yang tidak baik. Di situlah kepribadian orang yang berwatak cerdas muncul. Dia akan menjadi pribadi yang tangguh, dan pantang menyerah. Pribadi yang unggul, dan mampu mandiri. Mereka akan lebih mandiri lagi bila dibekali dengan pendidikan kewirausahaan. Mind set mereka pun akan berubah dari mental pegawai menjadi mental pengusaha. Kreativitasnya akan muncul untuk menciptakan lapangan kerja buat dirinya, dan orang lain. Imajinasinya akan hidup karena diberi ruang untuk menumbuhkan kreativitasnya yang unik. Ingatlah! Setiap manusia memiliki lebih dari satu potensi. Kata-kata itulah yang masih saya ingat dalam mata kuliah Psikologi yang diampu oleh Prof. Dr. Conny. R. Semiawan. Seorang guru besar emiritus dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Pribadi yang unggul dan mandiri akan menjadi pribadi yang cerdas karena berakhlak mulia. Akhlak mulia inilah yang harus benar-benar nyata diajarkan kepada para peserta didik dengan pendidikan keteladanan. Pendidikan keteladanan itu telah dicontohkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW bagi mereka yang menganut agama Islam. Sifat Sidiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah akan tercermin dari peserta didik manakala pendidik atau guru di Indonesia menyadari bahwa sifat kenabian harus dicontohkan, dan bukan hanya sekedar teori yang dihafalkan. Dia memerlukan tindakan nyata dan bukan sebatas kata-kata.

Ketika peserta didik secara aktif telah mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, maka keterampilan yang diperlukan dengan sendirinya akan mudah masuk ke otak siswa. Sebab keterampilan pada hakekatnya proses berlatih terus menerus. Siapa yang rajin belajar pasti akan pandai. Siapa yang rajin menulis, pastilah akan terampil menulis. Karena menulis adalah sebuah keterampilan yang bisa diajarkan dan bukan bakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline