Lihat ke Halaman Asli

Wijaya Kusumah

Guru Blogger Indonesia

Kok Saya Menjadi Malas Menulis di Kompasiana? Kenapa Ya?

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bingung. Dari tadi saya memang bingung. Bingung mau menulis apa di kompasiana. Begitu banyak penulis hebat ada di sini, dan sayapun terkagum-kagum dibuatnya.

Teman-teman kompasiana yang omjay banggakan. Meskipun saya tak memberikan komentar, itu bukan berarti saya tak mau membaca semua tulisan kompasianer. Tetapi saya bingung, mana yang harus saya baca lebih dulu. Musibah atau tragedi Kekejaman pada sesama manusia atas nama "AGAMA" teramat kejam di Cikeusik. Saya pun akhirnya terkena penyakit malas membaca.

Karena saya malas membaca, maka akhirnya saya pun malas pula untuk menulis. Saya bingung dengan apa yang akan saya tuliskan. Saya terkena penyakit rabun membaca dan lumpuh menulis. Itulah sebuah penyakit yang saya rasakan saat ini. Saya menjadi malas membaca, dan malas menulis pula di kompasiana.

Namun, ada sebuah buku yang tiba-tiba menginspiasi saya untuk menulis. Sebuah buku yang berjudul RENAISSANCE, terlahir kembali menjadi guru. Buku ini memberikan inspirasi di tengah kepenatan mengajar dan mendidik calon penerus bangsa.

Bila anda ingin jadi orang hebat, maka anda harus memiliki kemampuan mendengar, membaca, dan menulis. Orang menyebutnya kemampuan 3M (Three M).

Mendengar, membaca, dan menulis adalah tiga kemampuan yang bisa dikuasai oleh setiap orang.

Anda pernah mendengar siaran radio? Atau mendengar lagu-lagu favorit anda?  Tentu nikmat rasanya, bila anda mendengarkannya dengan penuh perhatian. Lalu bagaimana kalau kemampuan mendengar itu anda alihkan untuk mendengarkan keluhan orang lain, berusaha dengan utuh mendengarkan orang itu bicara, dan dengan penuh rasa empati anda merasakannya. Merasakan benar apa yang dirasakan olehnya.

Namun sangat disayangkan, budaya mendengar kurang jadi idola. Kita masih terlalu ingin didengar, dan kurang banyak mendengar. Akibatnya kita tak memiliki perasaan empati dan sifat tenggang rasa. Kalau sudah demikian, maka jadilah kita manusia yang berhati kotor karena kesombongan telah menjadi baju utama kita. Pernahkah kita berpikir, bahwa manusia dilahirkan untuk mendengar. Mendengar panggilan Allah melalui merdunya suara-suara adzan dari load speaker masjid ketika waktu sholat tiba?

Kemampuan mendengar harus melekat dalam keseharian kita. Bila kemampuan mendengar telah melekat, maka tak akan ada lagi manusia yang miskin. Karena orang kaya mendengar orang miskin bicara. Lalu bagaimana kalau orang yang miskin itu adalah anda?

Kalau anda masih miskin, maka kemampuan mendengar anda harus lebih dioptimalkan. Cari tahu kenapa orang itu bisa sukses dan tirulah apa yang bisa anda tiru. Metode yang anda gunakan adalah Amati, Tiru, dan Modifikasi (ATM).

Kemampuan yang tak kalah penting adalah membaca. Dengan banyak membaca, anda akan mendapatkan pengetahuan yang banyak. Pengetahuan yang bisa anda tularkan kepada orang lain. jangan pelit ketika ilmu anda bertambah, sebab bila anda pelit dalam ilmu pengetahuan, maka ilmu anda tak akan berkembang. Anda harus memiliki falsafah mata air. Semakin diambil, semakin jernih airnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline