Lihat ke Halaman Asli

Wijaya Kusumah

Guru Blogger Indonesia

Guru Profesional dan Plagiarisme

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_79508" align="alignleft" width="300" caption="Guru Profesional dan Plagiarisme"][/caption]

Membaca kompas cetak hari ini, Senin, 22 Februari 2010 tentang judul di atas yang dituliskan oleh bapak Mochtar Buchori membuat hati saya serasa galau.

Sebagai seorang guru yang sudah lebih dari 15 tahun mengabdi di dunia pendidikan, saya merasakan benar kalau banyak teman-teman seprofesi yang belum memahami profesinya sebagai guru. Belum merasakan betapa mulianya menjadi seorang guru. Namun sangat disayangkan, bila kemuliaan itu menjadi hina karena banyak teman-teman guru yang tak segera meng-update ilmunya. Tak pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya. Terus belajar sepanjang hayat.

Saya baca kembali tulisan pak Moctar Buchori yang sangat bagus itu,

Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan.

Buat saya, tulisan ini serasa menohok ke ulu hati. Membuat saya harus senantiasa membaca dan tidak dihujat sebagai guru yang meminum air comberan. Saya harus memberikan minuman segar kepada peserta didik saya dengan banyak membaca. Membaca hal-hal yang terus berkembang baik lewat buku, maupun media lainnya.

Buat saya secara pribadi, memegang amanah menjadi guru profesional serasa berat. Sebab guru dituntut untuk terus menerus melakukan kreasi dan inovasi dalam pembelajarannya. Membuat para peserta didik senang dengan apa yang dipelajarinya sehingga bermakna dalam kehidupan nyata.

Saya harus akui, telah terjadi kesalahan pengelolaan pembelajaran dari beberapa teman guru yang masih memiliki paradigma lama. Selalu menganggap lebih super daripada peserta didiknya. tak mengenal kata dialog, yang ada hanyalah monolog. Guru mengajar, murid diajar. Tak lebih dari proses kegiatan itu. Padahal, di dalam pembelajaran yang benar, guru dan murid sama-sama belajar, sama-sama melakukan proses interaksi dalam pembelajaran yang menantang. Pembelajatan yang mengundang para peserta didiknya untuk aktif  dalam memahami materi pelajaran.

Saya baca kembali tulisan pak Mochar Buchori,

Seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat.

Saya mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional. Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng (handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang mengandung wibawa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline