Lihat ke Halaman Asli

Resensi Film “Soekarno”: Memahami Sang Proklamator Dari Berbagai Sisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1386860914935656442

Pernikahan antara seorang Guru, R Soekemi (Sujiwo Tejo) dan Ida Ayu Nyoman Rai (Ayu Laksmi) melahirkan Koesno. Namun akibat sering sakit-sakitan, sang ayah akhirnya memutuskan untuk mengganti nama Koesno menjadi Soekarno yang diambil dari nama seorang tokoh Ksatria dalam kisah Mahabharata, yakni Adipati Karno. Diharapkan oleh sang ayah bahwa Soekarno nantinya menjadi orang yang kuat serta memiliki jiwa kepahlawanan seperti  Adipati Karno.

[caption id="attachment_283529" align="aligncenter" width="640" caption="Diunduh dari www.filmsukarno.com"][/caption]

Menginjak usia dewasa, Soekarno (Ario Bayu) aktif dalam pergerakan menentang Pemerintahan Kolonial Belanda hingga akhirnya ditangkap oleh polisi bersama tokoh-tokoh pergerakan lainnya di Yogyakarta pada tahun 1929. Dari Yogyakarta, Soekarno yang telah lama diincar oleh Kepolisian Hindia Belanda dibawa Ke Bandung dan dijebloskan ke Penjara Banceuy. Beberapa saat setelah penahanan ini, Soekarno disidang dan dalam persidangan itu membacakan pledoinya : Indonesia Menggugat. Soekarno dijatuhi vonis empat tahun penjara. Akan tetapi vonis tersebut justru memicu kritik dan polemik di kalangan orang Indonesia maupun Belanda.

Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk memberangus kegiatan Soekarno tidak berhenti di situ. Beberapa waktu kemudian Soekarno diasingkan ke Ende, Nusa Tenggara Timur.  Namun Soekarno akhirnya dipindahkan ke Bengkulu karena antara lain alasan kesehatan.  Soekarno sempat terserang penyakit Malaria ketika berada di Ende.

Selama pengasingannya di Bengkulu, Soekarno tetap menunjukkan semangatnya sebagai seorang aktivis. Melalui kegiatan sebagai guru di salah satu sekolah milik Muhammadiyah, Soekarno menularkan dan menumbuhkan semangat nasionalisme para muridnya. Di sekolah itu pula Soekarno berkenalan dengan Fatmawati (Tika Bravani) yang menjadi muridnya.

Pendaratan Bala Tentara Jepang pada 1942 menciptakan arah baru bagi kehidupan Soekarno. Rupanya pihak Jepang sudah lama mengetahui bahwa Soekarno memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat di Bengkulu pada waktu itu sehingga berusaha memanfaatkannya. Melalui Sakaguchi (Fery Salim) yang merupakan salah satu pimpinan Divisi Propaganda Bala Tentara Jepang, pengaruh Soekarno dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan Jepang.

Untuk kepentingan Jepang yang lebih besar, akhirnya Soekarno bersama Ibu Inggit Garnasih (Maudy Kusnaedi) serta anak-anak angkatnya dipulangkan kembali ke Jawa. Pemulangan ini terkait dengan upaya pemanfaatan Soekarno untuk propaganda kemenangan perang Jepang. Keputusan untuk memulangkan Soekarno kembali ke Jawa pada sisi lain juga memberi peluang pada tokoh-tokoh pergerakan seperti Sutan Syahrir (Tata Ginting), Bung Hatta (Lukman Sardi) dan Gatot Mangkuprojo (Agus Kuncoro) untuk bersatu kembali dengan Soekarno dalam rangka memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.

Kehidupan rumah tangga Soekarno dan Ibu Inggit akhirnya menjadi goyah  dan kondisi ini semakin menggiring Sang Proklamator  pada berbagai dilema karena Jepang ternyata banyak melakukan tindakan biadab terhadap rakyat. Belum lagi ejekan-ejekan dari para pemuda yang menganggapnya sebagai pengkhianat karena telah bekerjasama dengan Jepang. Terlebih lagi, Syahrir yang menghargai ketokohan Soekarno, ternyata pada sisi lain juga memiliki pandangan-pandangan perjuangan yang berbeda. Semua masalah ini dihadapi oleh Sokarno dengan tenang dan tabah.

Masalah rumah tangga Soekarno akhirnya mencapai antiklimaks setelah perpisahannya dengan Ibu Inggit. Soekarno memasuki tahapan baru dalam kehidupannya setelah menikahi Fatmawati. Pernikahan Soekarno dengan Fatmawati ini juga menjadi obat bagi kegalauan seorang Soekarno ketika puteranya yang pertama, yakni Guntur Soekarno Putra, lahir.

Ramalan Sutan Syahrir bahwa Jepang tidak akan lama berkuasa di Indonesia ternyata tidak salah. Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada Agustus 1945. Namun Soekarno dan Hatta masih belum bisa menentukan sikap terkait kekosongan kekuasaan akibat kekalahan Jepang ini. Akhirnya para pemuda yang didukung oleh para mantan Heiho dan PETA memutuskan untuk menculik Soekarno dan Hatta. Kedua tokoh tersebut dibawa ke Rengasdengklok dan dipaksa agar segera memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.

*****

Film yang mengisahkan kehidupan Soekarno sejak kecil hingga tahun 1945 ini  sudah jelas masuk dalam genre biopic atau biographical motion picture. Kehidupan Soekarno dan beberapa momentum penting dalam hidupnya sepanjang periode itu divisualisasikan secara komprehensif oleh Sang Sutradara.  Ini merupakan film biopic kedua karya Hanung Bramantyo setelah Sang Pencerah (2010) yang mengisahkan  kehidupan KH. Ahmad Dahlan. Sebagai seorang sutradara yang diserahi tanggung jawab untuk memvisualisasikan kehidupan Sang Proklamator Kemerdekaan RI ini, Hanung nampaknya benar-benar tidak mau mengambil resiko. Tiga orang aktor kondang dari film Sang Pencerah, yakni Lukman Sardi, Sujiwo Tejo dan Agus Kuncoro diboyong untuk membintangi film ini. Selain itu Hanung kembali menggandeng Sinematografer andalannya, yakni Faozan Rizal yang juga menangani Sang Pencerah.

Hasilnya, sebagai satu film penting dalam sejarah perfilman Indonesia, Soekarno tampil sebagai satu film yang memanjakan mata dan mengobati rasa haus penikmat film Indonesia akan film-film yang bermutu. Dengan tampilan warna-warna bersaturasi rendah yang cenderung ke sepia,  film ini seolah membawa penonton pada nuansa masa lalu sekaligus memberi nuansa dokumenter. Gaya pewarnaan desaturasi lazim muncul pada film-film bersetting masa lampau, terutama film-film berlatar belakang sejarah, seperti Saving Private Ryan. Faozan Rizal juga melakukan pola serupa dalam penggarapan Sang Pencerah. Namun sebagaimana diungkapkan oleh Faozan Rizal pada penulis melalui akun twitternya: @faozanrizal, warna-warna senja dalam karya lukisan Walter Spies, Le Mayeur dan lukisan lukisan ala mooi indie, menjadi referensi sinematografi film ini.

Pada batas-batas tertentu, menyutradarai film biopic bisa disamakan dengan pekerjaan seorang sejarawan dalam melakukan rekosntruksi sejarah. Jika fakta-fakta sejarah diumpamakan sebagai batang korek api yang tersebar (Kuntowijoyo, 2013 : 14), adalah tugas sejarawan untuk mengumpulkan fakta-fakta (korek api) tersebut agar bisa menghasilkan suatu fakta sejarah yang dapat dibaca. Begitupula Hanung Bramantyo yang bersama timnya telah berupaya keras untuk merekonstruksi fakta-fakta mengenai kehidupan dan perjuangan Soekarno agar bisa menjadi suatu film biopic yang menarik dan tidak melenceng dari fakta sebenarnya.

Akting Ario Bayu dalam film ini juga perlu diapresiasi karena  memerankan seorang Soekarno sebagai Proklamator Kemerdekaan RI bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Meskipun penampilan Ario Bayu jika dibandingkan dengan foto-foto Soekarno maupun cuplikan dokumenter yang ada tidak benar-benar mirip, dia berhasil menghidupkan semangat dan emosi Sang Proklamator.

Sebenarnya film ini berpotensi untuk lebih berbobot jika kehidupan Soekarno semasa menghuni pondokan (indekost) dikediaman HOS Tjokroaminoto mendapat porsi pengembangan cerita yang lebih besar. Sebab, pada masa itu Soekarno bergaul dengan para tokoh yang di kemudian hari berseberangan dalam hal pendirian politik. Interaksi Soekarno dengan para tokoh itu sebenarnya mengantar Sang Proklamator pada dialektika  gagasan-gagasan politik yang tumbuh pada masa itu. Meskipun periode ini  divisualisasikan hanya sekilas saja, keberanian Hanung untuk menampilkan fakta sejarah tersebut patut diapresiasi  sebagai upaya pelurusan sejarah Indonesia melalui film.

Selain itu kiprah Soekarno sebagai aktivis pergerakan nasional sebenarnya juga bisa lebih menarik dan barangkali bisa menambah elemen dramatisasi cerita jika upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk memata-matai aktivitasnya melalui jaringan aparat Algemene Recherche Dienst atau Dinas Reserse Umum divisualisasikan dalam film ini.

Terlepas dari sejumlah kekurangan yang ada, termasuk visualisasi Stasiun Gubeng Surabaya yang nampak lebih kecil dari aslinya dan penampilan beberapa aktor pemeran perwira Jepang yang kurang menggigit, film ini sangat perlu ditonton bagi mereka yang ingin memahami berbagai sisi kehidupan  dan perjuangan Soekarno. Sisi Soekarno sebagai negarawan sekaligus seorang manusia biasa  divisualisasikan secara menarik dalam adegan-adegan film ini. Misalnya,  Soekarno bisa kokoh mepertahankan keputusan untuk pura-pura bekerjasama dengan Jepang yang ditentang habis-habisan oleh Syahrir dengan alasan bisa memberi kesan pembelaan terhadap fasisme. Namun di sisi lain Sang Proklamator itu seolah tak berdaya menghadapi kemarahan Ibu Inggit yang cemburu. Selain itu, Soekarno memiliki suatu pendirian yang konsisten terhadap penjajahan, namun pada sisi lain terkesan gamang menentukan sikap untuk memproklamasikan kemerdekaan  sehingga memicu terjadinya Peristiwa Rengasdengklok.

Akhirnya, satu hal yang perlu dicatat dari film ini adalah potensi intrinsiknya  untuk menegaskan bahwa Soekarno adalah benar-benar milik Bangsa Indonesia melalui rangkaian berbagai adegan dan cerita. Soekarno memang bukan milik partai tertentu atau golongan tertentu saja. Apalagi   para penonton diminta untuk berdiri dan menyanyikan Lagu Indonesia Raya bersama-sama diiringi musik serta kibaran Bendera Merah Putih yang tampil di layar bioskop ketika film akan dimulai. Ini sungguh sesuatu yang sangat langka ditemukan dalam film-film Indonesia sehingga menonton Soekarno bagaikan mendapat pengalaman baru.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline