Lihat ke Halaman Asli

Debt Collector dan Dehumanisasi Nasabah

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13022338381203771104

[caption id="attachment_100475" align="alignleft" width="450" caption="Sosok Debt Collector, diunduh dari www.ceritamu.com"][/caption] Kisah tentang kekerasan fisik dan non-fisik yang dilakukan oleh debt collector atau penagih hutang sebenarnya bukan berita baru. Jika kita rajin membaca surat kabar, keluhan kekerasan yang dilakukan oleh debt collector telah lazim ditemui di sejumlah kolom surat pembaca. Bahkan obrolan online mengenai kekerasan debt collector telah muncul di internet sejak lama. Sayangnya, keluhan-keluhan semacam itu seolah dianggap sebagai angin lalu.

Ulah para penagih hutang baru mendapat perhatian pasca tewasnya seorang aktivis sebuah partai politik setelah menjalani suatu proses yang diklaim sebagai proses negosiasi untuk pembayaran hutang. Peristiwa ini mengundang banyak pihak untuk bicara, termasuk menteri dan anggota parlemen. Dalam acara Rapat Dengar Pendapat antara Komisi XI DPR dan pejabat-pejabat satu bank swasta beberapa waktu lalu, reaksi keras ditunjukkan oleh beberapa anggota DPR yang mengembalikan kartu kreditnya sebagai bentuk rasa keprihatinan. Di kalangan masyarakat luaspun, kritikan keras terhadap keberadaan perusahaan jasa penagihan hutang dan bank pengguna jasanyapun bermunculan. Ujung-ujungnya, banyak desakan agar debt collector dilarang untuk beroperasi.

Sebenarnya menghadapi reaksi dan berbagai kritikan semacam itu, bank-bank perlu melakukan introspeksi terhadap penyelengaaran jasa pelayanan keuangan yang mereka lakukan. Bagaimanapun juga bank wajib memahami bahwa nasabah bank adalah mitra usaha mereka dan patut diperlakukan secara manusiawi. Bank juga perlu benar-benar menyadari bahwa tanpa nasabah mereka tidak ada artinya. Konsekwensinya, sudah waktunya bagi bank untuk merubah persepsi bahwa berbagai proses perbankan antara nasabah dan bank (termasuk pemberian kredit) tidak sekedar merupakan proses mekanis di mana pihak bank seolah berperan sebagai operator sedangkan nasabah diperlakukan bagaikan mesin penghasil keuntungan bagi bank. Persepsi demikian berimplikasi bagi dehumanisasi nasabah yang seolah dianggap sebagai mesin penghasil uang belaka. Penggunaan debt collector atau jasa penagihan hutang merupakan implementasi dari dehumanisasi nasabah di mana debt collector sebagai perpanjangan tangan bank berperan sebagai operator sedangkan status nasabah direduksi menjadi sekadar mesin penghasil uang yang bisa perlakukan dengan tekanan keras maupun lunak belaka. Ini tentu benar-benar merupakan suatu tindakan dehumanisasi.

Dalam perspektif kriminologi dan ilmu kepolisian, perlakuan semacam itu mengandung faktor-faktor korelatif kriminogen (FKK) atau police hazard (kerawanan polisional). Maksudnya, perlakuan terhadap nasabah sekedar sebagai mesin pencetak uang yang bisa diperlakukan secara lunak dan keras akan cenderung melahirkan suatu tindak kejahatan. Peristiwa tewasnya seorang aktivis politik telah membuktikan hal tersebut.

Oleh karena itu jika memang para penyelenggara usaha perbankan ingin menciptakan suatu iklim perbankan yang sehat, mereka harus rela mereformasi diri mereka dalam memperlakukan nasabah. Nasabah bank adalah manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Bank juga harus selalu sadar bahwa nasabah bank adalah mitra bisnis bank yang mesti diperlakukan secara patut dengan memperhatikan hak-hak asasinya sebagai manusia.

Pendek kata, jika melihat dari berbagai kasus penagihan hutang yang kerap muncul, sudah saatnya bagi bank-bank untuk tidak sekedar menyerahkan urusan penagihan hutang terhadap pihak ketiga (outsourcing). Kiranya, bagian penagihan hutang (debt collector) perlu dijadikan sebagai unit internal bank yang berisikan pegawai-pegawai professional yang lebih bisa melakukan penagihan hutang tanpa mengakibatkan dehumanisasi nasabah. Dengan demikian faktor korelatif kriminogen maupun police hazard (kerawanan polisional) yang bisa menimbulkan kejahatan dapat dihindari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline