Film perjuangan biasanya berisi adegan-adegan pertempuran yang melibatkan para pejuang kemerdekaan Indonesia melawan pasukan penjajah Belanda maupun Jepang.
Tanpa disadari, fakta ini menanamkan suatu persepsi dalam diri masyarakat bahwa suatu film akan disebut sebagai film perjuangan jika mengandung unsur-unsur seperti pertempuran, senjata dan mesiu.
Pada sisi lain, keberadaan film-film semacam itu juga sekaligus turut menciptakan suatu pandangan bahwa hanya perjuangan bersenjatalah yang paling berperan dalam upaya merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Padahal sejarah juga mencatat bahwa kemerdekaan yang bisa kita nikmati pada saat ini juga berkat perjuangan para pahlawan melawan penjajahan yang dilakukan tidak dengan jalan mengangkat senjata.
KH Ahmad Dahlan adalah salah satu sosok Pahlawan Nasional yang berjuang melawan penjajah dengan jalan memperhatikan kesejahteraan anak yatim dan orang miskin serta memberdayakan rakyat jelata melalui pendidikan.
Gambaran seperti itulah yang ditampilkan oleh Sutradara Hanung Bramantyo melalui film Sang Pencerah.
Rekonstruksi kehidupan Ahmad Dahlan sejak lahir pada tahun 1868 hingga masa awal pendirian Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 yang dapat dilihat dalam film tersebut memang membuat Sang Pencerah masuk dalam genre biopic (biographical pictures) atau film biografi.
Namun jika dilihat dari konteks ruang dan waktu, yaitu Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada masa penjajahan Belanda serta konteks idealisme maupun kiprah Sang Kiai dalam perjuangannya untuk mengangkat nasib rakyat jelata dari kebodohan dan kemiskinan akibat segala kebijakan kolonialisme, film ini patut dikategorikan ke dalam genre film perjuangan.
Terlahir dari keluarga ulama terpandang dan lumayan berada, Ahmad Dahlan sejak muda tidak terbuai dalam sangkar emas. Karena adanya darah saudagar yang mengalir dalam tubuhnya serta jaringan rekanan sang ayah, beliau bisa saja memilih hidup untuk menjadi pengusaha.
Namun Kiai yang pada masa kecilnya memiliki nama Muhammad Darwis tersebut lebih memilih untuk memperdalam ilmu agama Islam. Setelah belajar di Mekkah selama kurang lebih lima tahun, Ahmad Dahlan kembali ke Yogyakarta ketika berusia dua puluh tahun.
Pada saat itu, dalam diri Ahmad Dahlan sudah terbentuk suatu determinasi kuat untuk membersihkan ajaran Islam dari unsur-unsur yang mengkontaminasi, seperti animisme dan praktek-praktek kultural yang bertentangan dengan ajaran Islam.