Beberapa tahun belakangan ini, saat ekstremisme dalam beragama semakin meningkat, aku mengalami kebingungan dalam banyak hal. Semakin banyak orang memaki, menghina, merendahkan, menghukum, me-neraka-kan orang lain dengan begitu mudah.
Banyak yang mengaku sebagai pendakwah namun berteriak-teriak dalam dakwahnya sembari mendoakan orang lain dengan sejuta keburukan, kemalangan, kehinaan, kesakitan, hingga kehilangan rezeki.
Perempuan dipaksa menutup tubuhnya dengan berlembar-lembar kain, dipaksa dengan sejumlah kebijakan level kabupaten hingga provinsi; namun para lelakinya begitu lantang mendakwahkan tentang haknya memiliki banyak istri untuk kepentingan seksual, tentang haknya menundukkan manusia perempuan sebagai 'hamba sahaya' baginya.
Beberapa waktu kemudian, seorang ustadz yang kontroversial bahkan bercerai dengan istrinya; alasannya sang istri tidak bisa diatur sesuai syariat agama. Baru-baru ini seorang ustadz kondang juga menceraikan istri pertamanya untuk kedua kalinya (pernah rujuk setelah cerai pertama). Usut punya usut, rupanya sejak awal sang ustadzah tidak terima bahwa suaminya menikah lagi dengan perempuan lain.
Sebagai perempuan yang menemani sang suami sejak mereka tidak punya apa-apa hingga menjadi pendakwah kaya raya, sang ustadzah merasa bagai habis sepah dibuang, saat suaminya menikah lagi dengan perempuan lebih muda lagi cantik, yang mungkin secara signifikan mempengaruhi kualitas hubungannya dengan sang ustadz.
Seorang Psikolog bahwa mengaku bahwa di tahun saat sang ustadz menikah lagi, sang ustadzah mendatanginya dan melakukan konsultasi karena merasa tidak sanggup menerima bahwa suaminya menikah lagi dengan perempuan lain.
Seorang perempuan yang dikenal luas sebagai perempuan lembut hati, berdakwah dengan hikmah dan terkenal dengan kesabarannya bahkan nggak mampu menahan perih di hatinya saat suaminya menikahi perempuan lain, meski ia tahu apa hukum poligami dalam Islam. Kukira, air mata sang ustadzah adalah gambaran nyata atas rasa sakit seluruh perempuan yang ditinggalkan suaminya untuk perempuan lain atas nama agama, padahal atas nama birahi.
Lain lagi dengan seorang pengusaha kaya raya yang sering disebut syekh yang dengan mudahnya menikahi bocah 12 tahun, lalu bocah 7 tahun; dan negara tidak bergerak saat seorang pedofil kaya raya merampas hak pendidikan anak perempuan atas nama agama. Ditambah lagi dengan kasus kekerasan seksual hingga pemerkosaan yang dilakukan anak seorang pemimpin pesantren kepada sejumlah santriwati. Lucunya, meski ia telah resmi ditetapkan sebagai tersangka, ia kebal hukum.
Hanya karena ia anak kiai, kaya raya dan suka membantu warga miskin; maka hukum menjadi kebal atasnya, meski ia melakukan tindakan kriminal paling memalukan yaitu merusak perempuan. Juga kasus-kasus lain yang menyeret nama pemuka dan pendakwah terkenal dan diteladani masyarakat negeri ini, namun ternyata merupakan bom waktu atas banyak kebusukan yang justru merusak dakwah Nabi Muhammad dalam memperbaiki akhlak manusia akhir zaman.
Dalam perjalanan spiritualku sebagai pemeluk agama Islam dan percaya atas misi Islam dalam menjadi rahmat bagi semesta alam, perkara-perkara teranyar ini sungguh mengguncang iman. Tidak bisakah kita beragama dan ber-Islam dengan perasaan bahagia? Tidak bisakah kita tidak dimaki, dihina dan direndahkan karena cara pandang berbeda dalam menerima tafsir atas firman Tuhan?
Tidak bisakah kita tidak dipaksa dengan makian untuk menyembah-Nya, membaca kitab-Nya, dan cara kita mencintai-Nya? Tidak bisakah kita tidak dipaksa dengan neraka-neraka-neraka sementara hidup sebagian kita sudah merupakan neraka dunia sejak dalam kandungan ibu? Tidak bisakah kita beragama dengan khidmat, tanpa adanya seseorang yang menghitung statistik ibadah harian kita seakan-akan kita akan diizinkan masuk surga dengan statistik ibadah harian sesuai asumsi kita?