Lihat ke Halaman Asli

Wijatnika Ika

TERVERIFIKASI

When women happy, the world happier

Sejak Kecil hingga Berusia 23 Tahun, Aku Diajarkan Membenci Agama Lain

Diperbarui: 25 November 2019   13:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi manusia dengan iman yang berbeda-beda (rawpixel)

"Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" (Q.S. Yunus: 99) 

Halo, selamat membuka hari dan apa kabar? Hari ini aku mau cerita pengalaman paling mengganggu terkait pandangan spiritualku.

Aku lahir dari sebuah keluarga percampuran suku Jawa dan Sunda, tinggal di lingkungan heterogen dengan suku Sunda, Jawa, Minang, Semendo, hingga Batak; sebagian besar beragama Islam.

Kampungku adalah kampung transmigrasi di Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Kampungku ini berbasis pertanian dan kehutanan, udaranya sejuk dan cenderung dingin kayak di puncak. Hidupnya di sana santuy.

Aku tinggal di kampungku sejak berusia 0-18 tahun. Setelah lulus SMA aku merantau untuk melanjutkan kuliah dan bekerja, hingga saat tulisan ini dibuat. 

Dari banyak cerita mengenai hidupku, kali ini aku mau bicara soal iman dan agama, dan pengaruhnya dalam memandang mereka yang berbeda.

Keluargaku sangat konservatif. Ayahku yang keluarga Sunda percaya bahwa nilai-nilai Sunda dan Islam adalah yang terbaik, sementara keluarga ibuku yang Jawa percaya bahwa nilai-nilai Jawa dan Islam adalah yang terbaik.

Lingkungan belajarku identik dengan Islam meskipun aku nggak pernah belajar di Pesantren. Hanya sejumlah guru dan tetangga yang berbeda agama. Meski demikian nggak ada rumah ibadah agama lain di kampungku, hanya Masjid. 

Sebagai seorang Muslim sejak lahir, aku memang diajarkan bahwa Islam adalah agama yang benar dan sebagai penyempurna agama-agama yang pernah ada di bumi. Aku menerima itu dan berusaha menjadi Muslim yang baik.

Namun, dalam proses pembelajaran itu juga aku diajarkan untuk membenci manusia lain dengan keimanan yang lain, misalnya Kristen, Hindu, dan orang China. Aku dilarang untuk bergaul dengan mereka, makan makanan mereka, memeluk mereka dan main ke rumah mereka. 

Seakan-akan jika ada persentuhan dengan mereka aku akan menjadi kafir secara otomatis. Ya, aku sih menerima saja peraturan itu, meski ada setumpuk pertanyaan di kepala, pertanyaan kepada Tuhanku tentang mengapa manusia harus memiliki keimanan berbeda. Aku tidak bertanya kepada manusia, karena aku tahu mereka akan memberi jawaban yang membuatku semakin memiliki banyak pertanyaan daripada sebelumnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline