Pagi yang tenang di Surabaya mendadak berdarah dan berbau aroma kematian. Bom meledak di tiga Gereja, merenggut nyawa dan melukai sejumlah orang, juga menciptakan ketakutan. Kemudian diketahui bahwa pelakunya adalah satu keluarga: Ayah, Ibu dan empat orang anak mereka yang masih belia. Berdasarkan data yang berseliweran di media sosial, tersebutlah bahwa mereka adalah satu keluarga Muslim yang terdidik, berkecukupan secara ekonomi, ramah pada tetangga dan baik hati.
Fakta bahwa mereka memiliki kehidupan yang baik tapi berakhir sebagai pelaku teror bom sungguh menohok. Bahkan pelaku teror bom lain, yaitu di Sidoarjo merupakan satu keluarga yang terdiri dari 6 orang dan di Mapolrestabes Surabaya juga satu keluarga dengan jumlah 5 orang. Ini edan betul! Saya jadi beprasangka buruk dan menengok tetangga kanan-kiri, jangan-jangan di sekitar kita ada banyak sekali keluarga dengan profil sempurna tapi sedang menunggu 'perintah' menjadi pelaku teror bom selanjutnya.
Sebagai Muslim, saya ngeri dengan kenyataan ini. Saya membayangkan bahwa teman-teman saya yang non-Muslim bisa jadi sedang ketakutan.
Tidak seorang pun yang dapat menapikan ketakutan ini karena tempat ibadah mereka memang kerap menjadi sasaran teror bom, meski menimpa Masjid juga. Tagar #kamitidaktakut muncul lagi seakan-akan memang publik tidak takut dengan teror bom. Tapi benarkah tidak takut? Profil pelaku teror bom Surabaya dan Sidoarjo justru membuat saya takut. Mengapa? Karena teror kali ini telah mencoreng nilai-nilai suci keluarga dengan melibatkan anak-anak. Tindakan ini jelas melawan UU Perlindungan Anak dan Kovenan PBB tentang Hak Anak.
Ini semacam bahaya yang muncul dari danau yang tenang lagi airnya bening lagi bersih. Orang-orang dengan kehidupan serba baik lagi terdidik tapi menyimpan rencana busuk dalam kepala mereka, jauh lebih berbahaya dibandingkan tukang protes yang tidak sekolah tapi tidak melakukan kejahatan apapun yang melukai orang lain.
Kengerian saya bertambah ketika di media sosial berseliweran status dan tweet yang menyatakan bahwa teror bom Surabaya dan Sidarjo adalah konspirasi dan pengalihan isu. Pernyataan itu bahkan berasal dari beberapa politisi yang memiliki jabatan tinggi di Senayan.
Meski kita sedang menghadapi situasi yang serba tidak pasti secara politik, pernyataan-pernyataan itu sangat tidak manusiwasi karena menyangkal fakta tentang korban yang terluka hingga kehilangan nyawa. Manusia yang terbunuh dalam keadaan perang saja membuat kita sedih, lantas bagaimana sebagian dari kita sanggup bersikap denial bahkan nyinyir atas hilangnya nyawa orang bukan dalam keadaan perang? Apakah kita harus menunggu teror bom menghancurkan rumah dan merenggut nyawa keluarga kita untuk mampu mengakui bahwa teror ini jahat dan berbahaya?
Bagaimanapun juga pelaku adalah keluarga Muslim. Dan sebagai umat mayoritas dengan berbagai keistimewaan dalam menjalankan agama dibanding umat agama lain, umat Islam harus legowo menerima fakta bahwa pelaku adalah saudara seiman kita. Fakta ini tidak bisa disangkal. Semakin kita menyangkal, semakin jelas bahwa sebagai mayoritas di negeri ini kita belum mampu menjadi pelindung bagi umat agama lain, belum mampu hidup dalam perbedaan dan belum mampu mengayomi.
Para teroris itu ingin membangun sebuah negara impian mereka tapi tidak memiliki wilayah, makanya mereka menyebar virus berbahaya di tanah bangsa-bangsa damai lagi makmur. Mereka ingin merebut kekuasaan, bukan menciptakan negara ideal apalagi surga dunia.
Jika mereka benar ingin membangun sebuah peradaban makmur, seharusnya mereka bergabung dengan tim ilmuwan untuk menciptakan negara ideal mereka di planet lain atau menjadi pasukan hijau yang khusus menangani kerusakan lingkungan penyebab perubahan iklim. Bukan dengan membunuh atau menebar teror bom.