Ada dua peristiwa penting menjelang akhir tahun 2024 yang akan sangat berpengaruh pada khususnya penyandang gelar profesor dan juga Perguruan Tinggi pada umumnya. Pertama, pada tanggal 10 September 2024 Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan Peraturan Menteri No. 44 tahun 2024 tentang Profesi, Karir, dan Penghasilan Dosen.
Dari judul Permen-nya tampaknya hanya terkait dengan dosen, tetapi di dalamnya ada banyak implikasi pada bukan hanya dosen, termasuk profesor, tetapi juga Perguruan Tinggi pada umumnya. Perguruan Tinggi diberi masa transisi selama satu tahun untuk menyesuaikan diri sejak Peraturan Menteri tersebut diundangkan.
Peristiwa kedua adalah dipecahnya Kementerian tersebut menjadi tiga Kementerian yang terpisah. Perguruan Tinggi akan ada dalam kewenangan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Lalu apa dampaknya?
Wawancara awal Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Prof. Stella Christie dengan Uni Lubis menarik untuk disimak. Menurut Wamen ini, seharusnya Perguruan Tinggi bukan SMA tetapi lebih susah, tetapi seharusnya berfokus pada menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang baru. Dosen dituntut untuk terus mengeluarkan sesuatu yang baru, agar mahasiswa dapat belajar untuk bisa mengeluarkan inovasi-inovasi yang baru. Dan, tentunya yang akan me-lead dosen untuk terus mengeluarkan sesuatu yang baru adalah para profesor.
Padahal beberapa tahun terakhir jabatan fungsional akademik profesor ramai diperbincangkan dengan nada miring. Adanya pejabat publik atau pesohor yang diangkat menjadi profesor (Deddy Mulyana, Kompas 16 Juli 2024), ke-distinguished-an profesor (Christina Eviutami Mediastika, Kompas 17 April 2024) yang dipertanyakan, salah kaprah pemahaman jabatan profesor (Djwantoro Hardjito, Kompas 24 April 2024), peran joki dalam usaha memperoleh gelar profesor (Syamsul Rizal, Kompas 15 Desember 2021), peran profesor dalam komunitas akademik dan komunitas ilmu (Mangadar Situmorang, Kompas 7 Maret 2023), dan profesor abal-abal (Kompas 19 Juli 2024) adalah sebagian kecil topik minor yang menjadi bahan perbincangan.
Ada tiga hal penting terkait dengan Permen tsb. yang akan dibahas dalam artikel ini, yaitu tentang pemberlakuan otonomi perguruan tinggi dan konsekuensi logis, serta kontrol pemerintah dari Permen ini. Ketiga hal penting tersebut kemudian akan diperbandingkan dengan tuntutan pada profesor dan perguruan tinggi untuk menghasilkan pengetahuan yang baru.
Otonomi Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi diberikan otonomi penuh untuk beberapa hal seperti penetapan jabatan akademik dosen, termasuk penetapan jabatan akademik profesor. Konsekuensinya adalah bahwa di belakang jabatan akademik, misal profesor harus disertai dengan nama Perguruan Tinggi. Sehingga, nantinya tidak akan ada 'keseragaman' profesor. Profesor akan terbagi ke dalam kelas-kelas sesuai dengan nama besar Perguruan Tingginya.
Pasal yang mengatur tentang hal ini merupakan satu terobosan besar. Saat ini cukup banyak doktor di Perguruan Tinggi Negeri belum menjadi profesor. Padahal jumlah publikasi yang bereputasinya banyak.
Sementara mantan mahasiswa dari doktor PTN tersebut sudah menjadi profesor dengan jumlah publikasi yang terbatas, dan ditambah dengan cara legal saling menitipkan nama di publikasinya. Di jurnal A, si X menjadi penulis pertama, dan dia mencantumkan dua atau tiga rekannya sebagai penulis kedua, dst. Sementara di jurnal B, rekannya si Y menjadi penulis pertama dan mencantumkan nama X sebagai penulis kedua, dst. Selain tentu cara ilegal yang sudah dibahas beberapa kali di Kompas.
Ada lagi dosen yang kesulitan untuk memperoleh jabatan akademik profesor di perguruan tinggi C karena screening internalnya ketat, kemudian mengajukan jabatan akademik profesornya di Perguruan Tinggi D yang screening internalnya longgar.