Lihat ke Halaman Asli

Wigati Hati Nurani

Guru dan suka menulis

Sepenggal Cinta di Ruang Rindu (2)

Diperbarui: 11 Mei 2023   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah sholat magrib, kurebahkan badan. Melepaskan lelah setelah seharian beraktifitas. Kembali bayanganmu hadir melintas dengan seribu raguku.  Meskipun kau selalu saja menyakinkanku, keraguan itu tak mau begitu saja pergi. Mengapa begitu cepat menerima ungkapan kata cinta darimu. Sedangkan aku sendiri tak  mengeri dan tak yakin apakah hati ini benar adanya hanya untukmu. Terlalu cepat sepertinya aku membalas dan mengiyakan atas apa yang kau ungkapkan. Aku berada di persimpangan jalan yang aku ciptakan sendiri. Ah, bodohnya aku.  Ku buka Surat-suratmu yang kau berikan ketika keberangkatanmu di Statiun kereta tadi.  Dan pesanmu padaku agar membacanya saat aku sendiri dan sedih, sudah kutunaikan. Memang setelahnya, aku merasa nyaman. Tetapi itu hanya sementara. Setelahnya, kebimbangan kembali hadir membersamai hari-hariku. Ah, cinta memang memang aneh, seaneh-anehnya.


Lalu kusibukan hari-hari setelahnya dengan kuliah dan tugas. Dengan segudang kegiatan untuk memastikan agar ragu itu hilang. Disaat yang sama, hadirmu terus mewarna dimanapun aku berada. Disela-sela   kegiatan Mahasiswa, di tumpukan kertas dan diktat yang harus kubaca. Diantara ujian mid Semester yang sebentar lagi harus kuikuti. Aku berniat akan  menjelaskan padamu tentang keraguan hubungan ini padamu, saatnya kita bertemu nanti.


Wahai diriku, mengapa keraguan itu tak sirna juga. Ragu atas sikap dan perilaku, juga atas rasa cinta itu sendiri. Tetapi disaat yang sama, rindu pun datang menghantui. Rindu dengan tegur sapamu, rindu dengan caramu memperhatikanu. Rindu denganmu yang selalu siap membantuku. Apa ini yang disebut cinta. Kata orang sih cinta dan rindu, dua kata yang tak bisa dipisakan. Dimana ada cinta, disitulah rindu hadir. Benarkah aku mencintaimu. Benarkah aku merindumu.


Sampai akhirnya waktu membuktikan adanya. Saat kepulanganmu di akhir bulan Desember. Rupanya itulah kepulangan terakhirmu. Karena setelahnya, tak pernah lagi kuantar kepergianmu ke perantauan. Engkau akan mengadu nasib di kota asalmu Yogjakarta. Dan setelahnya engkau ingin meminangku menjadi belahan jiwamu. Aku begitu terkejut atas apa yang ucapkan itu. Ah, kenapa harus secepat ini. Aku masih ingin mengejar matahari di ufuk barat saat sinarnya tenggelam. Mengejar cita-citaku, menggapai mimpiku. Agar bisa kunikmati juga indahnya dunia. Keinginanmu untuk segera menikah membuatku terus berfikir, apakah ini keputusan yang tepat untukku, dan juga untuk cinta kita. Engkau terus menyakinkanku, bahwa aku masih bisa mengejar cita-cita hingga kuliah selesai dan meraih sarjana. Dengan berbagai pertimbangan kuterima juga pinanganmu. Dan kita memulai mengayuh biduk rumah tangga dengan segala riak gelombang, pasang surut nya.


Itulah sepenggal kisah kita.  Kisah yang aku menyakini sebagai bagian jalan hidup dan takdirku. Kisah yang mengawali perjalanan pernikahan kita. Bagiku, kisah cinta kita unik dan tak mudah untuk dijalani. Tetapi nyatanya sampai hari ini kita masih bersama dalam biduk yang entah bagaimana lagi akan berlayar. Waktu tiga puluh tahun lebih bersama  ternyata tak cukup membuatku sepenuhnya menemukanmu. Menemukan cinta di ruang rindu kita. Kini keraguan itu telah bisa kutepiskan, berganti dengan harapan. Harapan yang entah sampai kapan bisa terwujud. Beribu kekuranganmu sebisa mungkin kuterima dengan lapang dada. Karena aku sadar juga manusia yang tak sempurna. Kelebihanmu terus kuingat untuk tetap menjaga agar cinta ini tetap tumbuh. Kuanggap ini bagian ikhtiar yang sebisa mungkin kulakukan.


Doa dan berdoa, barangkali itu yang menguatkanku. Kulakukan setiap waktu, terutama saat setelah Sholat . Meminta dengan penuh keyakinan pada pemilik hidup dan pemilik cinta kita. Berharap Sang Ilahi menjaga dalam dekapan Kasih dan Sayangnya, pada  sifat Rahman Rahimnya. Bukankah doa bisa mengubah segalanya, termasuk takdir orang. Dan inilah yang selalu kuyakini. Seyakin hujan masih mengguyur diluar sana. Terus memberi air untuk kehidupan tanpa pernah diminta. Dan pada kisah kita, kutuliskan puisi untukmu.....


Hujan memeluk rindu
Rintiknya berbisik perlahan
Cinta dan rindu ini tak berkesudahan
Tunggu dipersimpangan jalan
Dan anginpun tak mampu merubah arah
Keyakinan kita telah terpatri
Terpukau di dermaga
Dibuai nyiur tepian pantai
Janji senja tan pernah ingkar

( Bagian terakhir Cerpen Sepenggal Cinta Di Ruang Rindu Karya Penulis, diambil dari Buku Antologi Ruang Rindu)

Sejuta Bunga, 11 Mei 2023




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline