Lihat ke Halaman Asli

Wifqi Rahmi

Mahasiswa S3 Ilmu Kependidikan Undiksha Singaraja Bali

Pendidikan sebagai Instrumen Kekuasaan dan Media Perlawanan: Persepketif Kritis

Diperbarui: 8 Desember 2024   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pendidika di Madrasah (Sumber: Jurnalis MTsN 3 Jembrana)

Pendahuluan

Pendidikan sering dianggap sebagai alat untuk meningkatkan kualitas hidup dan mobilitas sosial. Namun, perspektif kritis mengungkap bahwa pendidikan juga dapat menjadi instrumen kekuasaan yang digunakan untuk mempertahankan status quo. Paulo Freire (1970) menyebutkan bahwa pendidikan seringkali bersifat "banking system," di mana peserta didik diposisikan sebagai objek pasif yang menerima narasi dominan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidaklah netral, melainkan sarat dengan nilai-nilai ideologis yang mendukung kekuasaan.

Di sisi lain, pendidikan juga memiliki potensi untuk menjadi media perlawanan. Melalui pendidikan yang kritis dan dialogis, individu dapat memahami struktur dominasi dan bergerak menuju transformasi sosial. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran pendidikan sebagai instrumen kekuasaan dan media perlawanan dengan mengacu pada berbagai perspektif teori kritis.

Pendidikan sebagai Instrumen Kekuasaan

a. Reproduksi Hegemoni

Teori hegemoni Antonio Gramsci (1971) menjelaskan bagaimana kekuasaan dipertahankan melalui persetujuan sosial yang dibangun oleh lembaga-lembaga, termasuk pendidikan. Kurikulum, misalnya, sering kali dirancang untuk merefleksikan nilai-nilai dominan, yang pada akhirnya memperkuat struktur kekuasaan yang ada. Bourdieu dan Passeron (1977) dalam konsep "reproduksi kultural" menunjukkan bahwa pendidikan mereproduksi ketimpangan sosial melalui habitus dan kapital budaya.

Penting untuk disadari bahwa proses reproduksi hegemoni tidak selalu berlangsung secara eksplisit. Melalui normalisasi praktik-praktik tertentu dalam pendidikan, peserta didik sering kali tanpa sadar menginternalisasi nilai-nilai yang mendukung kekuasaan dominan. Contohnya, kurikulum yang berpusat pada narasi sejarah tertentu dapat mengabaikan perspektif kelompok yang termarjinalkan, sehingga memperkuat dominasi budaya tertentu.

b. Kontrol Ideologis

Pendidikan berfungsi sebagai alat kontrol ideologis dengan cara menanamkan ideologi tertentu kepada peserta didik. Althusser (1971) mengategorikan sekolah sebagai salah satu Ideological State Apparatus (ISA), di mana nilai-nilai dan norma yang mendukung kekuasaan disosialisasikan. Dalam konteks ini, pendidikan berperan menjaga dominasi kelompok elite atas masyarakat.

Sebagai contoh, dalam banyak sistem pendidikan, nilai-nilai seperti kepatuhan, kompetisi, dan hierarki ditekankan sebagai hal yang normal dan diinginkan. Hal ini tidak hanya mencerminkan struktur sosial yang ada tetapi juga memperkuatnya dengan mempersiapkan peserta didik untuk menerima peran mereka dalam tatanan sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline