Masih tentang isu panas BBM yang akan naik, yang jika benar waktunya maka hanya menghitung hari saja. Dan untuk mengantisipasi lonjakan harga yang terjadi karenanya, maka biasanya pemerintah akan melakukan Operasi Pasar (OP). Jelang kenaikan harga BBM, biasanya muncul oknum-oknum nakal yang menimbun stocknya dengan harapan meraih banyak keuntungan jika dijual dengan harga baru. Hal inipun sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, dimana antrian kendaraan yang ingin mengisi BBM terjadi karena katanya stock habis. Sungguh menyedihkan! Sedang pemerintah masih berteori dengan inspeksi mendadak ke tempat-tempat yang diduga menimbun stock. Dan info sidakpun lebih sering bocor terlebih dahulu dan pemerintah hanya bisa gigit jari. Semakin menyedihkan!!
Saya tidak membahas tentang OP karena kenaikan BBM itu. Saya tiba-tiba teringat tentang OP yang biasanya juga dilakukan pada waktu-waktu tertentu dikarenakan kelangkaan sembako menjelang hari raya lebaran.. Jika BBM April nanti naik seperti yang direncanakan, maka sudah dapat ditebak kenaikan-kenaikan harga lainnya. Belum lagi rakyat beradaptasi dengan petaka kenaikan itu, bulan puasa dan lebaran sudah akan menghadang, sekitar 4-5 bulan dari sekarang, dimana dalam sejarah negeri ini, pemerintah seolah tak mampu mengatasinya. (Ikut) pasrah melihat harga-harga naik, membuat asumsi dan permakluman sendiri, menyalahkan musim, dan lain-lain.
Efektifkah OP yang dilakukan? Sepertinya tidak. Saya masih ingat wawancara sebuah televisi swasta dengan pedagang tahun lalu pada saat ada OP yang mendatangkan Menperindag saat itu, Marie Pangestu. Dengan polosnya si pedagang itu dengan logat Jawa yang kental mengatakan bahwa harga memang stabil saat ada kunjungan itu. Setelahnya, harga-harga kembali menggila.
Mari kita menyimak pendapat dari Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
“… Struktur pasar di Indonesia sudah sangat terbuka, jadi pasar sudah punya insting sendiri. Kalau pemerintah peduli pada kenaikan harga-harga, pemerintah harus mengubah struktur pasar ini. Seharusnya Indonesia belajar dari Malaysia dan Australia. Di kedua negara itu selalu ada intervensi pasar oleh pemerintah sehingga harga-harga kebutuhan tidak melonjak naik. Sementara di Indonesia hanya ditanggulangi dengan solusi musiman seperti operasi pasar dan pasar murah…”
“Bulog ini misalnya hanya mengatur masalah stok. Kalau Bulognya Malaysia bisa intervensi harga, dan diberikan kewenangan mengatur harga. Harga beras di Cipinang itu sudah berkali-kali naik, didiamkan saja. Pemerintah bukan hanya tidak kreatif tapi juga tidak serius.”
Di Malaysia, terdapat Undang-Undang tentang batas-batas harga pasar. Pemerintah berkewajiban melakukan kontrol pasar dan menyiapkan anggarannya. Setiap harga khususnya sembako sudah ditentukan. Daftar harga tersebut diberitahukan ke masyarakat umum atau ditempel di setiap swalayan atau toko. Jadi pelaku usaha tidak akan berani manaikkan harga. Bila ada yang melanggar harus diberikan sanksi yang sesuai. Nah, di negeri ini, adakah sanksi yang dijalankan? Sedangkan kesalahan yang dilakukan di depan matapun cenderung diabaikan. Sampai sering kalau ada yang protes "di tivi katanya harganya tidak naik" akan dibalas dengan ketus "Beli aja di tivi!!".
Nah, jika Malaysia ‘kreatif’ dengan Undang Undang yang memperhatikan hajat hidup masyarakatnya, harusnya kita juga bisa seperti itu. Apalagi ada Kementerian baru yaitu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang tupoksinya saya cari-cari tapi tidak juga ketemu. Siapapun itu, apakah Kementerian Perdagangan atau kementerian manapun pelaksana OP ini,seharusnya bisa mengatasi permasalahan ini, terutama nanti menjelang puasa dan hari raya. DPR, maukan studi banding ke Malaysia atau Australia untuk masalah ini? Eh, masihkan kita perlu DPR??? Hhhmmmm…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H