Lihat ke Halaman Asli

Dwi Pakpahan

Perempuan

Lembaran Kelam Parman

Diperbarui: 5 Januari 2021   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pixabay.com

Pria itu berlari sekuat tenaga di tengah kesunyian malam. Tak dihiraukannya lagi keringat yang menetes deras membasahi kaos yang dipakainya. Udara malam yang begitu dingin tak membuat hawa di badannya ikut dingin, malah terasa panas. Di dalam benaknya yang ada hanya satu kata, kabur. Dia tidak boleh tertangkap. Andai dia punya jurus menghilang dia akan menghilang saja seperti ninja.

Pria itu tidak mengetahui kemana tujuannya berlari, yang dia tahu alasannya berlari. Dia harus lari dari kejaran dua orang polisi yang mengikutinya dari belakang. Dia mengira dia tidak akan ketahuan, sengaja dia bersembunyi di kampung sepupunya, daerah pelosok jauh dari rumah kontrakannya di kota.

Setelah berhari-hari sembunyi di kampung ini, akhirnya polisi mengetahui perbuatan kriminalnya dan datang menjemputnya, menjemput paksa tepatnya. Senja tadi, ketika berada di kamar, dia melihat dari jendela kamarnya dua orang polisi berjalan menuju pintu masuk. Dengan secepat kilat, dia berlari dari pintu belakang tanpa permisi dengan sepupunya hanya bermodalkan pakaian rumah dan sandal jepit.

Perbuatannya mencuri sepeda motor dan membunuh pemiliknya lebih dari sebulan lalu itulah yang membawa dua polisi itu mencari keberadaannya. Dia tak mau di tangkap, dia masih ingin melihat pertumbuhan bayinya sampai besar. Perbuatan kriminal itu dilakukannya tiga hari sebelum istrinya melahirkan bayi mereka. Di tengah kegelapan malam, Parman terus berlari lurus meninggalkan rumah sepupunya mencari tempat persembunyian yang aman. Tanpa peduli apapun, Parman terus berlari kencang.

"Berhenti, Parman!" seorang pria berteriak sambil berlari di belakangnya.

Terdengar beberapa derap langkah manusia berlari mengejarnya. Parman seakan tidak mendengarkannya, dia terus berlari kencang ditemani angin malam. Padahal masih banyak penjahat yang lebih kejam dan sadis dari aku, mengapa aku yang mereka kejar? Para bandar NARKOBA yang berkeliaran bebas di luar, para pejabat yang makan uang rakyat. Para pembunuh yang mengatasnamakan agama. Para pemerkosa yang tega membunuh korbannya. Parman seakan tak terima dengan pengejaran ini.

Terbayang wajah istrinya yang tersenyum lebar ketika melahirkan bayi mereka sebulan lalu. Semua karena kondisi keuangannya yang memprihatinkan akibat dia baru saja di-PHK sejak wabah virus korona melanda. Sudah hampir lima bulan dia menganggur. Tabungannya pun sudah habis membiayai kebutuhan sehari-hari. Ketidakmampuannya membayar persalinan istrinya menyebabkan dia nekat melakukan perbuatan itu.

Dengan alasan mencari pekerjaan baru, istrinya rela ditinggalkan Parman beberapa hari lalu. Dia sengaja ke kampung sepupunya untuk sembunyi dan menjadi petani. Rencananya uang hasil panen akan dia kirim untuk keperluan istri dan bayinya di kota. Rencana tinggal rencana, sekarang yang terjadi adalah polisi telah berhasil menemukannya dan dia harus kabur.

Akibat kelelahan, Parman berdiri di belakang sebuah bangunan tua kosong, memulihkan tenaganya sejenak. Dia menarik napas panjang dan terduduk lemas di atas rerumputan. Berharap para polisi yang tadi mengejarnya kehilangan jejak. Irama napasnya tidak teratur, jantungnya berdegup kencang.

Parman memikirkan rencana selanjutnya di sela waktu istrirahatnya. Di depan bangunan tua ini terdapat jalan lintas mau ke kota. Dia akan ke kota, menjumpai istri dan bayinya sebentar lalu menyusun rencana kabur lagi. Dia akan menumpang salah satu kenderaan yang nanti akan melintas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline