Lihat ke Halaman Asli

Aku Seorang Guru Namun Anakku Tinggal Kelas

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tadi pagi, aku kaget mendengar cerita sahabatku kalau anaknya tinggal kelas (di kelas VIII).  Sambil berkaca-kaca dia bercerita, dia tidak menyalahkan siapapun, tapi dengan tegar dan berbesar hati dia menerima semua itu. Sahabatku ini adalah guru kelas VI.   Ia seorang guru yang selalu tulus berjuang untuk murid-muridnya, apalagi dengan adanya  Ujian Nasional yang membuat semua pihak deg-degan bukan kepalang.  Sejak awal tahun ajaran baru dia sudah membuat rencana kerja  yang matang supaya anak didik-nya lulus semua dengan hasil yang memuaskan.  Bahkan dia mati-matian memperjuangkan anak-anak yang kurang perhatian dari orang tua, yang tidak punya semangat  belajar, bahkan rela memberikan waktu khusus di luar jam pelajaran.  Tidak bosan-bosannya dia memberikan motivasi, semangat, dukungan buat anak-anak didiknya.  Menurutku dia pantas diberi acungan jempol. Hasilnya, setiap tahun ajaran anak-anak didiknya selalu lulus 100% dengan nilai-nilai yang sangat memuaskan ( nilai yang murni hasil kerja keras, jujur dan tidak ada rekayasa/kecurangan) Tapi sungguh miris ketika aku mendengar ceritanya.  Dia berjuang dengan sekuat tenaga untuk anak orang lain hingga lulus, namun anaknya tinggal kelas.  Rasanya buatku tidak adil, karena dia pun tidak mengabaikan anaknya.  Dia  tetap mendampingi putranya, berkonsultasi, bertanya mengenai perkembangan belajar anaknya.  Emosi di hatiku bergemuruh penuh tanda tanya, mengapa guru-guru di sekolah itu tidak berjuang untuk anak sahabatku? Mengapa hal ini bisa terjadi padanya? Sungguh tidak adil... !!! Sahabatku ini wanita yang bijaksana. Meskipun kecewa dengan kejadian ini, ia berlapang dada menerimanya.  Dia justru membesarkan hati putranya, mendukungnya, tidak memarahi atau menyalahkan siapa pun.  Bahkan ketika pihak sekolah menawarinya untuk naik tapi dengan syarat pindah ke sekolah lain, ia menolaknya.  Dia hanya mengatakan ini yang terbaik buat putranya, suatu proses berharga yang akan mendewasakan anaknya.  Aku salut, dia tidak malu dengan kejadian ini.  Karena dia seorang guru yang melihat hasil dari suatu proses, bukan sesuatu yang instan yang bisa menjerumuskan anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline