Halimun di cakrawala semakin menebal, tak lama gerimis pun datang. Pak Kiai dan dua cucunya masih asyik bercanda dan berlarian di tengah rumput hijau, tidak mempedulikan rintik hujan yang mulai menerpa wajah. Tidak jauh dari mereka dua air terjun dengan suara khasnya bagai irama musik alam yang memecah kesunyian. Bu Nyai yang duduk di gazebo tersenyum melihat tingkah Pak Kiai yang seolah larut pada masa kecilnya, bebas tertawa dan berlarian di tengah rintik hujan. Kali ini dia bermain bersama cucu-cucunya.
Bunga sepatu , pacar air, kana, kertas yang berwarna warni menghiasi tepian rumput yang menghijau, menambah indahnya tempat ini, wisata alam yang sangat diminati. Tiga puluh delapan tahun yang lalu Bu Nyai melaksanakan KKN di desa terpencil ini. Udaranya sangat sejuk dan pemandangan alamnya sangat memukau , sayang belum ada yang mempedulikan, kemudian dia dan teman-teman mahasiswa KKN menemukan tempat ini, yang dahulu masih dianggap tempat yang menakutkan.
***
Fatimah dan keempat temannya turun dari kendaraan yang disewa kampus tepat di depan rumah Bapak Kepala Dusun. Dia agak kesulitan ketika harus mengangkat kopor dan tas yang besar.
"Bisa aku bantu?" Salah satu teman yang baru dia kenal di kendaraan menawarkan bantuan.
"Duh, senyumnya menawan , wajahnya bersih dan bercahaya, mungkin dia rajin berwudhu dan salat," pikir Fatimah.
"Terima kasih ," jawab Fatimah seraya memberikan kopor pada teman barunya.
Kelima mahasiswa KKN itu berjalan menuju rumah Pak Kadus yang mempunyai halaman luas, kanan kiri rumah ditumbuhi pohon cengkih dan buah-buahan. Pak Kadus dan istrinya menyambut mereka di depan rumah. Senyum mengembang penuh suka cita. Menjadi tempat posko mahasiswa KKN merupakan suatu kehormatan bagi mereka.
Ketika memasuki ruang tamu sederhana tetapi luas, di meja tamu sudah tersedia teh dan banyak makanan khas desa. Ada singkong yang diberi gula aren, jagung rebus serta tahu bacem, membuat perut mereka kembali lapar. Begitu tuan rumah mempersilakan makan, kelima mahasiswa itu segera menikmati hidangan langka itu. Kemudian kelima mahasiswa itu memperkenalkan diri. Mahasiswa yang menolong membawakan kopor Fatimah bernama Stephanus Wisnu Anoraga. Vidia mahasiswa Fakultas Hukum, Kuncoro, Teknik Kimia dan Setiyono, dari Fakultas Peternakan.
Bila pagi hari sesudah salat subuh Fatimah dan Vidia menuju ke sungai yang tidak jauh dari rumah untuk buang hajat besar, karena rumah Pak Kadus tidak memilik WC. Seminggu sekali mereka berlima menuju sendang untuk mencuci pakaian. Ada dua sendang yang bersih airnya, sebelah kiri pohon beringin untuk laki-laki dan sebelah kanannya untuk perempuan. Ketika menuju sendang mereka harus melewati pematang sawah serta jembatan bambu di atas sungai kecil yang airnya bening karena belum tercemar.
Setiap berada di sendang para mahasiswa KKN menatap bukit yang terlihat jelas . Mereka merasa penasaran dengan cerita penduduk yang mengatakan bahwa di atas bukit yang jalannya sangat terjal itu ada sepasang air terjun. Namun tempat itu sangat jarang dikunjungi karena selain jauh dan sulit dijangkau ada mitos kalau ada sepasang kekasih atau suami istri yang mengunjungi ke sana pasti hubungan mereka akan putus.