Lihat ke Halaman Asli

Maukah Anda Membawa Makanan Sendiri Saat Diundang ke Pesta Pernikahan?

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14105612922097783556

[caption id="attachment_323753" align="aligncenter" width="420" caption="Kado pernikahan dari tante suami yang dikemas menarik dan disertai dengan tulisan tangan.(Foto kredit: Widiyabuana Slay)"][/caption]

Jawaban saya singkat. Tentu saja tidak. Namun sepertinya tren di mana para calon mempelai pria dan wanita meminta para tamu undangan yang ingin menghadiri resepsi pernikahan mereka agar membayar di muka biaya makanan dan minuman. Lebih ekstrim lagi, membawa makanan sendiri.

Sebagai perempuan yang dibesarkan dalam budaya ketimuran hal ini tentu sangat tidak lazim. Saya ingat, pernah seorang teman yang menikah dengan WNA asal AS mengatakan kepada saya jika wedding registry atau bridal registry adalah hal yang lumrah. Calon pengantin mendaftarkan kebutuhan apa saja yang mereka inginkan mulai dari peralatan rumah tangga hingga biaya untuk berbulan madu.

Sebenarnya tren ini sudah mulai menjamur di Jakarta meski masih dalam kalangan terbatas dan biasanya hanya kalangan atas saja. Namun tren baru di mana para tamu diwajibkan membayar di muka biaya yang akan mereka makan dan bahkan jika perlu membawa makanan sendiri sungguh tidak lazim dan menurut saya sudah sangat keterlaluan.

Alasan saya menolak tren ini karena sangat tidak menghargai tamu yang Anda undang. Tamu sudah rela memberikan waktu dan usaha untuk menghadiri sebuah pernikahan tidak termasuk menghabiskan waktu berdandan, memilih kado yang terbaik bagi pasangan pengantin.

Saya pernah rela terbang ke Kendari, Sulawesi Tenggara, dengan biaya sendiri untuk menghadiri pernikahan sahabat saya. Meski jauh namun saya rela merogoh kocek dan tidak terpaksa hadir walaupun saya harus mengeluarkan ekstra biaya untuk hadir di sana. Namun, bayangkan saja, betapa sangat tidak santun jika semua usaha yang saya lakukan itu ternyata pasangan pengantin malah memberikan beban dengan meminta saya membayar sebagian biaya pernikahan mereka. Tetapi sahabat saya ini sungguh bersyukur saya bisa hadir dan memberikan pelayanan yang sangat istimewa di kediamannya selama tinggal di sana.

Saya sangat mengerti dan paham dengan alasan para pengantin - di negara-negara Barat- yang mengatakan sejumlah orang datang ke pesta pernikahan hanya untuk makan lalu pergi atau sering dikenal dengan sebutan wedding crasher. Atau ada pula kejadian sejumlah orang yang salah masuk ke pesta pernikahan karena lokasi yang berdekatan dengan tujuan utama mereka menghadiri acara tersebut.

Teman, kolega, dan keluarga yang saya kenal tidak pernah mempermasalah apakah saya membawa kado atau tidak. Kehadiran saya adalah hal yang utama. Mungkin ini lebih terkait ke budaya terutama di Indonesia yang tidak bersifat invidualistis.

Hal lain yang sungguh menganggu adalah undangan yang dikirimkan lewat email atau Facebook. Meskipun saya bisa memahami namun terkadang rasanya kebiasaan lama sudah bergeser. Ibu, tante, dan paman dari suami saya selalu mengirimkan kartu dengan tetap menyertakan tulisan tangan di sana. Hal yang tak pernah saya temukan lagi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Kesimpulan saya, jika memang tidak memiliki biaya untuk menikah mengapa harus terlihat super mewah? Hal yang utama adalah sahnya pernikahan dan kesakralan yang ada. Tidak peduli betapa mewahnya sebuah pesta pernikahan hal itu tidak menjamin langgengnya sebuah pernikahan. Ini bisa kita buktikan dengan pernikahan berumur pendek Kim Kardashian dan Kris Humphries yang hanya bisa bertahan selama 72 hari meski pernikahan itu layaknya pernikahan para selebriti kelas atas. Kita juga bisa berkaca pada pernikahan para selebritis di Indonesia yang super mewah dan ternyata berujung pada perceraian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline