Lihat ke Halaman Asli

Widya Rainnisa Karlina

Mari menulis dengan hati

Menolak Takut, LPSK Siap Menjadi Pelindung "Whistle Blower" demi Tegaknya Hukum dan Keadilan

Diperbarui: 22 November 2018   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(c2live.com)

Berdasarkan ketentuan UUD 1945 hasil amandemen, disebutkan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pengertian negara hukum menurut Aristoteles, yakni negara yang menjamin keadilan bagi warga negaranya. Mustafa Kamal Pasha dalam Dwi Winarno, 2006, menerangkan bahwa negara hukum adalah negra yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum.

Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan unntuk menjalankan ketertiban hukum. Ini berarti negara dalam menjalankan pemerintahan berdasarkan atas hukum positif dan konstitusi.

Negara hukum hendaknya menegakkan dan memposisikan hukum diatas segalanya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia sesuai amanat UUD 1945 Pasal 28 I ayat (4) dengan tujuan tercapainya suatu tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (rechtszekerheid)[1].

 Indoensia sebagai negara hukum tentu memiliki banyak peraturan perundang-undangan dan peraturan bersifat tertulis yang disahkan pemerintah guna mengatur kehidupan warga negara yang bersifat mengikat.

Meskipun telah disertai sanksi, tetapi ada saja orang yang berani melanggar dan seolah membenarkan perbuatan tercelanya. Mereka berusaha mencari celah dan kelemahan dari berlakunya hukum. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menyalahgunakan hukum demi kepentingan pribadinya.

Dari banyaknya kasus pelanggaaran hukum di masyarakat, sebagian kecil dari kasus tersebut telah terungkap siapa korban dan pelakunya dan telah mendapat kekuatan hukum tetap (inkracht). Namun sebagian besar sisanya belum terungkap karena alot untuk diselesaikan. Sulitnya mengugkap kebenaran dari suatu kaasus dan penanganan yang lamban, akan merugikan korban karena tidak segera mendapatkan keadilan sesuai impiannya.

 Beberapa kasus yang proses penyelesaiannya terkesan sulit dan berlarut-larut adalah: pelecehan seksual, KDRT, korupsi, narkoba, dan terorisme. Sulitnya kasus terungkap disebabkan beebrapa faktor, salah satunya, tidak ditemukannya bukti yang cukup. Menurut Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Dari kelima alat bukti tersebut yang paling susah untuk diperoleh adalah keterangan saksi. Saksi dan/atau korban merupakan kunci utama dan jalan pembuka menuju terungkapnya suatu tindak kejahatan, karena mereka adalah para pengungkap fakta dari suatu peristiwa (whistle blower) yang mengetahui bagaimana suatu peristiwa terjadi. Namun sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang enggan buka mulut, walaupun sebenarnya mereka sangat menginginkan keadilan atas kasus yang dialami atau dilihatnya.

 Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, menjelaskan bahwa  Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang satu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan Pasal 1 ayat (3) menjelaskan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. 

Selain merasa malu, faktor utama yang mempengaruhi wistle blower tidak mau memberikan kesaksian karena merasa takut, diantaranya: takut diancam, takut dilecehkan, takut diintimidasi, takut dibully, takut dilaporkan balik kepada pihak yang berwenang dan masih banyak ketakutan lain yang berkecamuk di hati dan pikiran whistle blower

Seandainya mereka berani bersuara, tentu para penegak hukum akan lebih mudah untuk menengakkan hukum dan mereka akan mendapatkan keadilan sesuai yang diimpikan. Dilema yang demikian ini membuat whistle blower berpikir dua kali untuk angkat suara. Padahal dari suara merekalah hukum dan keadilan dapat tegak berdiri yang akan menyingkap tabir menakutkan bagi whistle blower sehingga ditemukan fakta yang seshungguhnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline