Lihat ke Halaman Asli

WIDYA PRATIDINA BARAPADANG

Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya

Oversharing: Saat Kita Terlalu Buka-bukaan dengan Orang Baru

Diperbarui: 14 Desember 2023   20:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jaman sekarang, kayaknya semua orang punya keinginan besar untuk berbagi segala sesuatu, ya gak? Mulai dari makanan yang dimakan sampai perasaan yang ada di hati. Fenomena oversharing ini bener-bener nggak bisa dihindari, apalagi pas ketemu orang baru. Kita sering banget tuh langsung cerita mulai dari muka jerawatan sampai drama percintaan yang lagi kita alami. Tapi, apa sih sebenernya yang bikin kita kayak gini? Ada nggak alasan biopsikologis yang melatarbelakangi perilaku oversharing ini?

Jadi, menariknya, ada penelitian dari Carbone & Loewenstein (2023) yang menyinggung tentang sistem otak khusus manusia buat nyebarkan pengetahuan budaya antar individu. Kayaknya, dorongan buat berbagi ini udah bawaan dari evolusi manusia, seperti misi bawaan kita: menceritakan pengalaman agar kita bisa bertahan hidup. Ini seakan-akan jadi bagian dari kodrat kita untuk saling berbagi demi keberlangsungan hidup manusia.

Oksitosin, yang merupakan suatu zat kimia di otak, juga ikut ambil bagian penting dalam meningkatkan hasrat kita untuk berbagi. Jadi, begini, oksitosin ini meningkat saat kita ngobrol dengan orang yang kita sayangi, seperti mendengarkan suara ibu. Selain itu, oksitosin juga berperan dalam membuat kita lebih bersedia untuk membicarakan perasaan dan pengalaman pribadi kita. Jadi, bisa dibilang, nggak hanya faktor biologis, tapi juga neurokimia yang memainkan peran penting dalam kecenderungan kita untuk membagikan perasaan dan pengalaman kita kepada orang lain.

Jadi, bisa dibilang, keinginan kita untuk oversharing sebenarnya ada dasarnya dari sisi biologis dan neurokimia. Ini kayaknya bentuk bawaan kita yang membantu membangun hubungan sosial dan pertukaran informasi dalam kelompok kita. Menarik, ya, gimana otak dan kimia di dalamnya bekerja untuk memotivasi kita berbagi dengan orang lain.

Sebenarnya, keinginan untuk bercerita ini punya peran sosial yang penting, lho. Teori menyatakan bahwa dengan berbagi informasi emosional, kita tanpa disadari memberikan manfaat sosial kepada orang-orang di sekitar kita. Ketika kita menceritakan perasaan kita, seakan-akan membuka pintu bagi orang lain untuk merasa lebih terhubung dan memahami kita secara lebih baik.

Namun, di tengah keinginan baik untuk bersosialisasi, terkadang kita harus hati-hati karena bisa saja jadi dilema. Kadang-kadang, kita bisa terjebak dalam perilaku oversharing tanpa sadar, terutama saat kita ingin memenuhi kepentingan pribadi. Misalnya, ketika kita bercerita lebih banyak hanya untuk mencari perhatian atau pengakuan, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada hubungan sosial.

Oversharing yang terlalu berlebihan bisa berakibat kurang nyaman bagi orang lain. Mungkin ada teman baru yang merasa kebanjiran informasi pribadi atau bahkan merasa terbebani dengan cerita-cerita yang seharusnya lebih intim. Oleh karena itu, meskipun keinginan kita untuk bersosialisasi dan berbagi penting, perlu diingat bahwa keseimbangan dan kesadaran terhadap kepentingan bersama juga menjadi kunci dalam menjaga kualitas hubungan sosial kita. Jangan sampai keinginan untuk berbagi justru merugikan hubungan sosial yang kita bangun.

Sekarang, kalau kita lihat ke sosial media, kayaknya oversharing itu jadi hal yang biasa banget. Kita tahu dari pengalaman sendiri, pasti ada aja postingan yang kita lihat dan mikir, "Kenapa dia cerita ini ke semua orang?" Emang, nggak heran kalau di riset, banyak banget postingan yang ternyata bikin si pemilik akun nyesel kemudian.

Ketika kita bertemu orang baru, seringkali kita cenderung overshare, ya. Ini mungkin bisa dijelaskan dari keinginan batin kita untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dan mendalam. Rasanya kayaknya kita pengen cepat diterima dan dikenal, makanya kita buka-bukaan banget. Sebenarnya, hal ini muncul dari keinginan kita untuk terlihat ramah dan terbuka, tapi kadang-kadang malah berujung pada oversharing yang nggak diinginkan. Mungkin juga karena kita ingin segera merasakan hubungan yang erat dan dekat, jadi kita cepat-cepat membuka diri.

Tapi, gimana sih efeknya buat kita sendiri? Jelasnya, kalau kita kurang cerita, bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesepian. Ada riset yang menunjukkan bahwa kurangnya self-disclosure bisa bikin kita lebih stres dan merasa kesepian. Jadi, sebenarnya, cerita-cerita kecil tentang diri kita itu nggak cuma untuk menjalin hubungan, tapi juga untuk menjaga kesehatan kita, baik secara mental maupun fisik.

Ketika kita enggak cerita, seolah-olah kita menahan beban sendiri. Kita mungkin merasa tertutup dan kesepian karena nggak ada jalur untuk melepaskan perasaan dan pikiran kita. Dalam jangka panjang, ini bisa berdampak pada kesehatan mental kita, seperti stres dan kecemasan. Jadi, sebenernya, cerita-cerita kecil ini adalah cara alami kita untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan emosional kita. Mungkin nggak disadari, tapi ketika kita berbagi, kita juga memberikan kesempatan pada diri kita sendiri untuk merasa didengar dan diterima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline