Lihat ke Halaman Asli

miranti widya ponulele

Analis Pembangunan Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tengah

Tumbilotohe dan Lebaran Ketupat, Tradisi yang Dirindukan Warga Keturunan Gorontalo di Perantauan

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1406623918393817728

Pertama-tama izinkan saya mengucapkan selamat merayakan hari raya Idul Fitri bagi kompasianer yang merayakan. Well, hari ini saya ingin menulis tentang tradisi dari kampung halaman ibu saya. Di Provinsi Gorontalo, ada dua hal yang sering menjadi magnet bagi warganya untuk mudik setiap menjelang hari Raya Idul Fitri. Yang pertama adalah tradisi Tumbilotohe, yaitu menyalakan lampu minyak tanah sejak 3 hari terakhir puasa ramadhan, tujuan dari tradisi ini adalah untuk menandakan bahwa ramadhan akan berakhir dan lebaran akan tiba.

Tumbilotohe, pateya tohe… ta mohile jakati bubohe lo popatii….. Kalimat pantun ini sering lantunkan oleh anak – anak pada saat tradisi pemasangan lampu dimulai dan sesaat kemudian Gorontalo akan terang benderang, hingga hampir tidak ada sudut kota yang gelap sejak magrib hingga subuh.

picture copyright of stevan-indo.blogspot.com

Di Gorontalo tradisi ini dilestarikan, dan mendapat support dari pemerintah setempat, tidak heran jika tradisi ini pernah meraih pernghargaan dari MURI. Di keluarga kami, ibu menularkan kebiasaan untuk menyalakan lilin dan lampu minyak tanah. Waktu kecil saya tidak mengetahui untuk apa hingga kami harus melakukan hal ini, ibu saya hanya berkata agar malaikat menghampiri rumah kami, motivasi saya sendiri hanya ingin membuat halaman rumah saya tampak seperti ‘kapal kambuna’ salah satu kapal PELNI dengan lampu-lampunya. Satu saat saya diajak mudik ke Gorontalo, harus melalui jalur darat pula. Sempat mengeluh, mengapa harus membuang tenaga jika ada pesawat dengan rute Palu-Gorontalo? Jawabannya saya temukan saat kami tiba di salah satu lapangan di Paguat, masyarakat mulai menyalakan lampu dan ternyata itu membuat kami betah berlama-lama hanya untuk menikmati pemandangan indah, ribuan cahaya di gelapnya malam. Sejak saat itu saya selalu rindu untuk pulang ke kampung halaman ibu saya, meskipun saya belum berkesempatan lagi untuk berlebaran di Gorontalo. Hingga kini ibu saya masih membiasakan cucu-cucunya untuk menyalakan lilin dan lampu minyak tanah setiap menjelang lebaran. Sekedar melepas rindu katanya.

Tradisi yang lain adalah lebaran ketupat. Di daerah kami di Palu, tidak ada yang namanya lebaran ketupat, namun di Gorontalo justru sebaliknya. Seperti beberapa daerah di Nusantara, warga Gorontalo juga melaksanakan lebaran ketupat. Jika di Palu sesudah shalat ied kami akan bersilaturahmi ke rumah saudara hingga sore hari, maka di Gorontalo sesudah shalat orang akan beraktivitas seperti biasa, perayaan akan dilakukan pada hari ketujuh di bulan syawal. Yang menarik adalah saat itu orang tidak harus saling mengenal untuk bisa bersilaturahmi. Orang asing akan disambut hangat di rumah warga, makan bersama tuan rumah dan melanjutkan silaturahmi ke rumah lainnya. Kami mencoba membuktikan dengan berhenti di satu jalan di Limboto, dan masuk kerumah warga. Disana ternyata kami disambut oleh tuan rumah dengan sangat bersahabat. Setelah kenyang kami keluar sambil tertawa, mungkin kalau dipalu kami akan disangka anak-anak yang datang untuk meminta sedekah di hari lebaran. Dua tradisi ini adalah sedikit dari banyak alasan saya merasa bangga menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang sangat kaya tradisi dan budaya, dan membuat saya rindu kampung halaman tentunya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline