Lihat ke Halaman Asli

WIDYA NUR

Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Jember Nim: 181910501011

Mampukah Pemindahan Ibu Kota Meningkatkan Perekonomian Rakyat?

Diperbarui: 6 Mei 2021   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Jakarta merupakan kota metropolitan yang super sibuk dan padat karena predikatnya sebagai ibu kota Indonesia. Kemacetan, pada penduduk, dan bencana alam menjadi faktor pemindahan ibu kota yang sedang ramai dibicarakan. Pemindahan ibu kota ini bukanlah hal yang baru sekali terjadi, jika melihat sejarah ke belakang, Indonesia sudah beberapa kali mengalami pemindahan ibu kota. Setelah merdeka pada 1945, tentara Belanda yang menggandeng sekutu (NICA) masih berupaya merebut Indonesia kembali. Karena hal tersebut, Presiden Soekarno memilih daerah lain untuk dijadikan ibu kota yang dianggap aman, kondusif, dan mampu menunjang kebutuhan Pemerintah RI pada masa itu.

Yogyakarta menjadi kota pertama yang dipilih. Jakarta kembali jatuh ke tangan Belanda pada 29 September 1945. Kala itu, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII selaku penguasa Yogyakarta pada masanya menawarkan agar ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta, dan ususlan tersebut disetujui oleh Presiden Soekarno. Pada 4 Januari 1946, Presiden Soekarno pergi secara diam-diam ke Yogyakarta menggunakan kereta api, hari itu Yogyakarta resmi menjadi ibu kota baru. Yogyakarta menjadi kota yang sulit ditaklukan karena dikelilingi oleh dua benteng, yaitu Samudra Hindia di Selatan dan Gunung Merapi di Utara, selama masa perpindahan Istana Negara berkedudukan di Gedung Agung.

Pada 19 Desember 1948, terjadi agresi militer Belanda 2. Ibu kota kembali dipindahkan, kali ini ke Bukittinggi, Sumatra Barat. Bukittinggi ditunjuk sebagai ibu kota dalam masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan Sjafrudin Prawiranegara sebagai presiden. Bukittinggi dijadikan ibu kota karena dilindungi oleh Gunung Merapi di Barat, Gunung Singgalang di Selatan, serta Lembah Sianok di Utara dan Barat, hal tersebut menjadikan Bukittingi dianggap aman.

Kota Bireuen di Aceh menjadi ibu kota terakhir sebelum pada akhirnya ibu kota kembali ke tanah Jakarta. Banyak orang tidak tahu mengenai hal ini, karena pada masanya pemindahan ibu kota ke Kota Bireuen berlangsung sangat singkat, kurang lebih selama satu minggu saja. Pada 18 Juni 1948, Presiden Soekarno pergi menggunakan pesawat dan menjalankan pemerintahan di Meuligoe (kediaman Bupati Bireuen),  hal tersebut dilakukan karena kondisi Yogyakarta yang tidak kondusif pada saat itu. Pemerintahan darurat ini dilakukan karena Aceh dilindungi pegunungan, sehingga dianggap aman untuk melindungi pusat pemerintahan dari serangan musuh.

Pada 17 Agustus 1950, ibu kota kembali ke Jakarta setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar dan kita menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasarkan sejarah yang sudah dipaparkan secara singkat di atas, pemindahan ibu kota terjadi karena kondisi Indonesia berada pada titik darurat. Namun, apakah saat ini Indonesia kembali pada posisi darurat sehingga harus dilakukan pemindahan ibu kota kembali? Jika melihat permasalahan yang terjadi di ibu kota saat ini, banyak hal yang melatar belakangi pemindahan ibu kota saat ini. Kemacetan, kepadatan penduduk, banjir, dan bencana alam lainnya menjadi faktor rawan yang menjadikan alasan ibu kota ingin segera dipindahkan dari Jakarta. Jakarta menempati posisi ke 9 terburuk dalam kepuasan pengemudi, serta kinerja kemacetan terburuk. 33.240 Stop-Start Indeks serta grid loc mengakibatkan komunikasi dan koordinasi antar kementerian lembaga seringkali kurang efektif. Menurut penuturan Bambang Brodjonegoro selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 29 April 2019, "Kerugian ekonomi yang diakibatka pada tahun 2013 sebesar 56 triliun per tahun, yang kami perkirakan angkanya sekarang sudah mendekati Rp 100 triliun per tahun dengan semakin beratnya kemcaetan di wilayah Jakarta".

Bappenas/ PPN mengadakan pertemuan yang menghadirkan pakar tata ruang kota dari berbagai negara di acara bertajuk 55th ISOCARP World Planning Congress 2019. Pada pertemuan ini dilakukan diskusi tentang perencanaan pemindahan ibu kota dan membahas beberapa poin, salah satunya adalah dampak ekonomi yang akan terasa jika ibu kota negara Indonesia dipindahkan ke Kalimantan Timur. "Lebih dari 50 persen wilayah di Indonesia akan mengalami peningkatan perdagangan jika ibu kota RI pindah", ucap Rudy Prawiradinata selaku Deputi Pengembangan Regional Bappenas dalam paparannya di Jakarta. Selain itu, beliau menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh 0,1 hingga 0,2 persen. Untuk saat ini, pembangunan dinilai masih Jawa-sentris, pertumbuhan ekonomi hanya berpusat di Pulau Jawa.

Badan Pusat Statistik (BPS), dalam datanya menyebutkan sekitar 54,48 persen aktivitas ekonomi terjadi di Pulau Jawab, 21,85 persen di Pulau Sumatera, 8,20 persen di Pulau Kalimantan, 3,05 persen di Bali dan Nusa Tenggara, 6,22 persen di Sulawesi, dan terakhir 2,47 persen terjadi di Maluku dan Papua. Untuk itu, diharapkan dengan dipindahkannya ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur menjadikan perekonomian tidak hanya berpusat di Pulau Jawa dan meningkatkan perekonomian ke daerah lain hingga ke seluruh daerah di Indonesia, sehingga pembangunan di Indonesia akan lebih merata.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas memaparkan detail dan rincian skema pembiayaan pembangunan ibu kota baru. Terdapat 3 skema yang diterapkan, yaitu penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), skema KPBU, dan partisipasi swasta. Untuk lebih rincinya, sebanyak 19,2 persen dana berasal dari APBN atau kurang lebih sekitar Rp 89,4 triliun. Dana tersebut akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, istana negara, gedung TNI dan Polri, perumahan ASN, TNI dan Polri, pembebasan lahan, lahan hijau terbuka dan juga markas TNI. Dana sebesar 54,4 persen berasal dari skema KPBU, dana tersebut sekitar Rp 253,4 triliun. Dana tersebut akan dialokasikan untuk pembangunan gedung eksekutif, legislatif, yudikatif (seperti gedung DPR, MK, KY, dan lainnya), infrastruktur yang tidak tertutup dengan dana APBN, sarana kesehatan dan pendidikan, museum dan fasilitas pendukung lainnya. Sisanya sekitar 26,4 persen berasal dari swasta, dana tersebut kurang lebih Rp 123, 2 triliun. Dana ini akan digunakan untuk membangun perumahan umum, sains-techno park, jalan tol, bandara, pelabuhan, mall dan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE). Namun, skema penbiayaan tersebut belum dilakukan fiksasi sehingga bisa berubah dan masih bisa diperdalam lagi kajiannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline