Sekedar sharing agar Kita Para Orangtua waspada terhadap kesalahan Diagnosa yang dapat menjerumuskan Buah Hati kita”
Umurnya kukira sekitar empat atau lima tahun. Gadis cilik itu terlihat “sempurna” dimataku. Badannya berisi, kulitnya putih, pipinya bak bakpao, rambut kemerahannya tampak berkilau. Aku pertama mendengar namanya saat mengikuti acara ceramah parenting dan sekaligus promosi sebuah sekolah di kotaku. Pihak sekolah menyebutnya sebagai “Anak Autis” dan mengklaim bahwa sekolah tersebut bisa menerima anak yang disebut berkebutuhan khusus semacamnya. Sekolah yang sedang berkembang ke arah sekolah inkusif.
Sering aku melihatnya, ketika mengantar Mas Asa, sulungku yang Playgroup. Satu sekolah dengan gadis cilik itu. Dita, namanya. Ketertarikanku pada pengasuhan anak, membuatku betah berlama-lama mengamati gadis cilik itu saat berada di luar kelas.
Di mataku, Dita tak tampak sebagai anak autis. Beberapa ciri kunci dari autis yang kupelajari dari artikel dan jurnal ttg Autiusme, tak tampak pada Dita. Penyandang autis dalam banyak literatur disebutkan: Tidak mampu berkomunikasi, Tidak/sulit sekali membuat kontak mata. Dita, kulihat justru sebaliknya. Dia beberapa kali kulihat membuat kontak terlebih dahulu dengan teman-temannya, bermain bersama, mengajak ngobrol…. owh…jauhhh dari gejala autis.
Dalam suatu kesempatan, aku bisa ngobrol dengan sang mama. Kutanyakan, bagaimana kesehariannya di rumah.
Sang mama dengan bangga bercerita : ” Dita suka sekali bereksperimen, Bu.” “Terkadang lamaaaaaa di kamar mandi. Ternyata dia sedang mencoba efek bila sebuah benda dicelupkan ke air ” Benda besar…benda kecil dst….dan setelahnya Dita akan bercerita panjang ttg penemuannya? OMG…..jangan-jangan anak ini mengalami MISDIAGNOSA? pikirku.
Anak Autis yang tipe asperger sekalipun tidak secerdas itu. Asperger syndrome yang juga diklasifikasikan sbg salah satu tipe autis, yang penyandangnya disebut-sebut sangat cerdaspun tak secerdas itu. Cerdasnya Asperger hanya sekedar collecting info, menghapal info, tanpa tau mau digunakan untuk apa info itu. So…kasus dita kulihat sangat beda dengan autis. Dita punya kemampuan mempertanyakan sesuatu, lalu dia pun mampu memuaskan keingintahuannya dengan jalan yang brillya: eksperimen.
Perilaku dita yang berhasil aku list justru lebih dekat dengan gejala Giftedness. Anak dengan lompatan perkembangan yang seringkali mengalami disinkronitas perkembangan hingga mengalami masalah dan seringkali didiagnosa sebagai Autis, ADD, ADHD dsb.
Akanhalnya giftedness ini, belum banyak diketahui di indonesia apalagi dikotaku. bahkan suatu saan aku ngobrol dengan seorang psikolog, dia menyatakan ” Tidak ada istilah giftedness/keberbakatan dalam dunia psikologi, Bu” Katanya padaku. Sekali lagi O…M…G.
Anak Autis tidak mungkin merancang sebuah percobaan seperti yang diceritakan mama dita. Suatu saat, akupun tak tahan untuk tidak bertanya pada sang mama: ” Siapa yang mendiagnosa Dita sebagai Autis, Bu?” tanyaku suatu hari dengan terlebih dahulu minta maaf dan sangat hati-hati. Ibunya tersenyum : ” Dokter syaraf” katanya lagi. “Hanya dokter itu?” kejarku lagi ” tidak oleh psikolog, psikiater atau ahli perkembangan? ” Tidak” Ohhhh…….”Ibu percaya, kalau anak ibu autis? dengan hanya satu diagnosa itu?” ” Tidak, Bu. saya tidak percaya bahwa anak saya autis. Tapi saya juga tidak tahu anak saya mengalami apa?
Sangat memprihatinkan. Sebuah bukupun kujanjikan pada sang mama yang begitu sabar dan berupaya dengan besar hati memahami anaknya. esoknya Buku berjudul : Anakku Terlambat Bicara (Anak berbakat dengan disinkronitas perkembangannya : memahami dan mengasuhnya. Membedakan dengan Autisme, ADHD dan permasalahan gangguan belajar), kupinjamkan kepadanya dengan tulus. Semoga dapat membantunya lebih memahami Dita.