Lihat ke Halaman Asli

Love Melody...[Part 4]

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Love Melody...[Part 4]

Mozart : Berdirilah….dan berjalan kearah utara di meja kedua setelah lukisan kaca hanya saya satu-satunya yang duduk di sana. (Mozart sedikit tegang, saat beberapa detik Mel tidak juga berdiri.)

Gadis itu terdiam dan meneguk latte dan berdiri juga akhirnya. Ia segera melihat Mozart dari tempatnya berdiri. Mel tersenyum dan setengah berlari menghampiri seorang pria yang melambaikan tangan ke arahnya. Mel melihat seorang pria berkacamata duduk di kursi roda… namun ia seperti tak menghiraukannya. Gadis itu segera meraih tangan Mozart dan memeluk kekasihnya itu dengan erat.

“Benarkah ini kamu, Moz?” Mel memandang pria di hadapannya dengan menggigit bibir bawahnya.

“Benar, cantik…kamu tidak salah…” Mozart menarik tubuh Mel

dan mereka berpelukan kembali seolah tidak terpisahkan.

Beberapa menit hanyut dalam keajaiban, keduanya tersadar pada posisi mereka dan tertawa.

“Hai, Mozart……senang berjumpa denganmu” Mel tersenyum tangan kirinya membelai wajah Mozart, sementara tangan kanannya masih berada dalam genggamam pria di hadapannya.

“Halo, sunshine…. Bagaimana perasaanmu?” Ia menarik tangan Mel dan menciumnya dengan lembut.

“Luar biasa, sekarang saya melihat satu-satunya pria yang saya cintai” Mel berkata lirih…sedikit malu.

“Kamu tidak mengatakan tiga kata yang indah di hadapan saya” Mozart tersenyum menggoda.

“Okay… kalau begitu dekatkan telingamu, sayang… saya…cinta…kamu…” Mel ngaucapkan kata-kata tersebut dengan ciuman di pipi Mozart di setiap kata.

“Dan saya…cinta…kamu juga” Mozart melakukan hal yang sama namun di akhir kata ia menarik tubuh Mel lebih keras sehingga ia bisa menyentuh bibir Mel yang merekah indah tepat di bibirnya. Sekian detik mereka berciuman akhirnya menarik diri masing-masing dengan senyuman.

“Wah, kursi roda yang bagus!” Mel tertawa tanpa merasa bahwa kursi roda adalah sebuah keadaan yang tidak menyenangkan.

“Ya, sunshine…dari pinggang kebawah seperti mati rasa sejak delapan bulan yang lalu” Mozart tidak melihat perubahan pada senyum sumringah Melody. Justru tatapan penuh cinta yang dijumpainya.

“Apa yang terjadi? Kamu tidak keberatan menceritakannya?”

“Tentu saja tidak….waktu itu saya pulang kerja sekitar jam 11:00 malam dan saat hendak memasuki gerbang apartemen tiba-tiba sebuah mobil sport yang dikendarai beberapa remaja yang sedang mabuk menabrak mobil saya dari samping……” Mel mendengarkan cerita dengan penuh perhatian membuat Mozart merasa nyaman dan di akhir cerita ia melihat Mel menghapus setitik air di sudut matanya.

“Semoga terapi dokter berjalan dengan baik, dan kamu bisa menggunakan kakimu untuk berjalan” Mel berkata sambil membelai paha Mozart dengan lembut, sayangnya Mozart tidak bisa merasakan lembutnya belaian itu.

“Terimakasih, sunshine…” Mozart menyeka airmata yang mulai mengalir di pipi Mel dengan tangannya dan membawa wajah itu mendekat dan sekali lagi bibir mereka bertemu dalam kelembutan.

“Apa yang kamu fikirkan?” Mel merasa heran setelah ciuman hangat itu Mozart memandangnya dengan tatapan yang sulit di artikan.

“Saya berfikir kamu akan terkejut melihat kelumpuhan saya dan setelah pertemuan kita kamu segera pergi” Mozart menggerakkan rahangnya seperti menahan sesuatu. “ Katakan sekarang, apakah kamu akan melakukannya, sayang?” Mozart menatap Mel yang terdiam beberapa saat.

“Baiklah…saya memastikan bahwa kamu adalah seseorang yang sedang saya fikirkan saat ini. Saya memilih tetap mencintaimu, tuan Mozart” Mel sengaja membisikkan kalimat terakhir tepat di telinga kekasihnya.

“Nah…saya ingin kamu memberikan ranselmu kepada Mita dan saya akan mengajakmu makan siang di suatu tempat, bagaimana?” Mozart melihat sedikit tanda tanya di wajah Mel.

“Mengapa harus Mita?” Mel sedikit menekan suaranya.

“Mengapa tidak, dia adik saya satu-satunya” Mozart kembali melihat senyum manis Mel

“Oh… ya Tuhan…jadi Mita itu adikmu?...hmmm saya baru tahu…” Mozart segera menghubungi Mita dan dalam beberapa menit saja gadis itu sudah berada di sana dengan senyum manisnya.

“Jadi katakan padaku, Mel…apakah kalian……” Mita seperti sengaja menggantung pertanyaannya….. namun segera tersenyum lega setelah melihat tangan kakaknya memeluk erat pinggang Mel. Meta mengangkat tangannya dan segera membawa ransel Mel meninggalkan keduanya. “Selamat bersenang-senang” suara Mita terdengar menjauh dari meja mereka.

“Kamu sudah lapar? Ingin makan dimana?” Mozart berkata saat mereka memasuki mobil Mozart..

“Sangat….energi saya habis saat kita berciuman. Dan saya akan suka kemanapun asal bersamamu, sayang” Mozart suka dengan jawaban itu dan mencium kepala Mel yang duduk tepat di sebelahnya dengan hangat.

“Hari ini kamu masuk kembali jam 04:00 sore, bukan? Itu artinya kita mash punya waktu satu setengah jam” Mel mengangguk. Ia sudah mengetahui bahwa Mozart memiliki jadwal mengajarnya.

Mereka makan di sebuah restaurant Korea. Dan ternyata restaurant tersebut adalah tempat favorite mereka. Mozart adalah seorang pria yang hangat. Ia lembut dan sangat pandai memperlakukan kekasihnya. Ia menikmati setiap detik kebersamaan mereka. Mel, gadis keturunan jawa itu sangat penuh perhatian dan sangat perasa. Ia juga tahu benar bagaimana membuat kekasihnya merasa menjadi seorang yang sangat dibutuhkan.

Dalam berbagai topic pembicaraan mereka menemukan fakta yang cukup mencengangkan dengan persamaan-persamaan pandangan yang menyatu untuk dua orang yang hanya saling mengenal lebih dari satu bulan.

Tepat pukul 03:30 mereka sudah berada di depan Café Smart, namun Mereka masih belum melepaskan pelukan di bangku belakang.

“Saya tidak ingin meninggalkan kamu, Moz..” Mel bergumam saat pria itu memberikan kecupan kecil di kepalanya.

“Saya akan datang malam ini, saya janji sunshine”Mozart masih meletakkan bibirnya di rambut Mel, menghirup wangi shampoo segar lalu tangannya semakin mempererat pelukan.

“Okay…tetapi bagaimana saya akan turun jika pelukanmu semakin erat begini, sayang?” mereka berdua tertawa cerah.

“Oh ya….baiklah, sampai jumpa nanti malam” Mozart menarik dagu Mel sekali lagi dan mereka berciuman hangat selama beberapa detik.

Mel memejamkan matanya menikmati kelembutan ciuman itu. Tanpa sdar ia melingkarkan lengannya ke leher Mozart yang semakin menarik tubuhnya dekat dan merapat. Mel semakin mencengkram erat saat tangan Mozart menempatkan beberapa belaian dan remasan di leher dan punggungnya. Mel mengerang kecil saat jemari kekar Mozart mencapai lehernya dan pria itu mencium leher putih miliknya. Beberapa menit berlalu dengan pergumulan panas, Mel segera menarik tubuhnya menjauh dari Mozart. Ia mengusap wajah memerah di hadapanya dan tersenyum.

“Nanti malam di mana? Saya tidak harus ke Café untuk menemuimu, bukan? Mel tertawa kecil sambil membenahi rambutnya.

“Hahaha….tentu saja saya akan mengetuk pintu apartment di lantai 4 itu, cantik. Saya tidak akan membiarkanmu berkeliaran malam-malam ke Café, okay!” Mozart membukaka pintu untuk Mel dari dalam dan memegang pipi gadis itu. “bye sunshine! I love you” Mel tersenyum dan mengucapkan kata I love you too tanpa suara tetapi ia justru mengedipkan matanya sambil melangkah keluar. Ternyata pak Darma, sopir Mozart sudah berada di samping pintu dan mengucapkan selamat sore dengan sopan kepada Mel. Beberapa saat kemudian Mel melihat Mozart melambaikan tangannya saat sopir mulai berjalan meninggalkan halaman Café.

Di dalam bus menuju sekolah pikiran Mel masih tertuju pada Mozart. Meski di kursi Roda ia bisa menyatakan bahwa Mozart adalah seorang pria tinggi dan terlihat bahwa ia cukup memperhatikan fisiknya. Mel menyukai kedua lengan Mozart yang kekar dan kuat, dadanya yang bidang dan hmm..ia tidak bisa melupaka wangi parfum di tubuh kekasihnya itu. Mel tersenyum dan menggelengkan kepala ketika ia menyadari sebentar ini ada bayangan berkelebat di matanya keinginan untuk mendapatkan pelukan itu sekali lagi..ahh… Mel berdiri dan berjalan keluar saat bus berhenti di halte tepat di depan sekolah.

Mozart dalam perjalanan kembali ke kantor sore itu. Ia menelpon sekertarisnya beberapa menit dan membaca email dari smartphone. Mozart menyandarkan kepala dan memejamkan matanya lalu tersenyum. Ia mengingat kembali Melody yang mungil namun bertubuh sintal. Ia menyukai wanita sederhana itu bukan karena kesintalannya, namun secara keseluruhan Mel itu menarik. Rambut hitam panjang yang dibiarkan lepas tanpa ada bekas pewarna sedikitpun membuat Mozart percaya Mel adalah gadis yang tidak suka bergaya dan mengikuti tren mode sekarang dimana para wanita berbondong-bondong mewarnai rambutnya. Mozart merasa wanita Indonesia dengan rambut hitamnya adalah sempurna. Mel terlihat tidak melakukannya, namun dibalik kesederhanaan penampilannya Mozart menangkap bahwa Mel adalah wanita yang sangat ‘panas’..haha..ia tertawa kecil mengingat kejadian barusan.Ia sungguh merindukan gadis yang tidak memandang sedetikpun terhadap keberadaannya di kursi roda.

Mozart terdiam sejenak. Tiba-tiba wajahnya memerah seolah ia sedang memikirkan sesuatu. Mozart masih memiliki keraguan terhadap Melody namun ia segera menarik nafas. Mel belum mengetahui sepenuhnya tentang dirinya. Gadis itu masih terjebak cinta pada pandangan pertamanya. Mozart mengusap wajahnya…mungkinkah Mel bisa menerima jika ternyata ia lumpuh untuk selamanya? Hmmm…Mozart diam…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline