Setelah mendengar berita di berbagai media mengenai tindak kekerasan terhadap anak di usia dini, pasti yang muncul ke permukaan adalah rasa geram dan mengharap si pelaku tertangkap dan dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Di sisi lain sebagai orang tua kita seakan berbondong-bondong mencari solusi agar anak-anak kita aman dari tindak kejahatan yang akhir-akhir ini marak terjadi di lingkungan kita.
Lalu apakah kita tahu jika apa yang kita hadapi itu sebenarnya tidak akan selesai hanya sekedar menjaga, bahkan dengan membabi buta memindahkan tempat belajar atau bermain anak dengan tujuan supaya anak-anak kita aman?. Lalu mau dibawa kemana anak-anak kita supaya aman? Jawabnya adalah tetap waspada dan tetap memberikan ruang untuk tumbuh dan berkembang kepada anak agar ia bisa tumbuh dengan sehat baik fisik maupun mental. Jangan sampai keinginan supaya anak kita aman justru menghambat perkembangan anak, bahkan lebih parahnya menjadikan “aksi protektif” kita menjadi satu pemicu kekerasan kepada anak-anak kita sendiri. Benarkah?....
Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual, penganiayaan emosional atau pengabaian terhadap anak. Menurut “Journal of Child Abuse and Neglect”, penganiayaan terhadap anak adalah kegagalan dari orang tua atau pengasuh yang menyebabkan kematian dankerusakan fisik atauemosional.
Kekerasan fisik berupa meninju, memukul, menendang, mendorong, menampar, menarik telinga atau rambutmengakibatkan guncangan terhadap anak yang mengakibatkan tekanan Intrakranial, pembengkakan otak, kekurangan oksigen yang mengarah pada pola seperti gagal tumbuh, muntah, lesu, kejang, gangguan pernapasan, dan pupil melebar.
Pelecehan seksual terhadap anak adalah suatu bentuk penyiksaan anak pelakunya mendapatkan stimulasi seksual. Bentuk pelecehan seksual anak termasuk menekan kepada anak untuk melakukan aktivitas seksual,kontak fisik dengan alat kelamin anak, melihat alat kelamin anak meski tanpa kontak fisik, atau menggunakan anak untuk memproduksi pornografi. Pengaruh pelecehan seksual dijelaskan bahwa anak merasa bersalah, kenangan buruk, Insomnia, takut hal-hal yang berhubungan dengan pelecehan; termasuk benda, bau, tempat dan wajah tertentu.
Psikolog anak dan konselor pola asuh Maria, M.Psi. menuliskan dalam milisnya bahwaada dua jenis pelecehan seksual, yakni fisik dan verbal. Pelecehan seksual fisik ditandai dengan adanya sentuhan yang bersifat sensual yang tidak di inginkan di beberapa area tubuh korban. Sedangkan pelecehan seksual verbal ditandai dengan kata-kata sensual (dapat berupa rayuan maupun komentar yang bersifat negative) yang ditujukan kepada korban.
Dalam jangka panjang korban pelecehan seksual akan mengarah ke masalah kepribadian, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, melukai diri sendiri, depresi dankeinginan bunuh diri. Menginjak dewasa ia dikhawatirkan akan mengalami gangguan identitas disosiatif (kecenderungan untuk mengulangi tindakan kekerasan) dan Bulimia Nervosa.
Kekerasan emosional sebenarnya agak sulit didefinisikan karena sifatnya tidak menyakitkan secara fisik, namun kekerasan emosi justru dikhawatirkan menjadi pemicu utama adanya kelainan-kelainan pada proses tumbuh kembang anak karena terkadang pelakunya adalah orang-orang terdekat dan secara tidak sadar melakukan kekerasan secara emosional dalam kurun waktu yang lama. Yangmerupakan bentuk kekerasan emosional kepada anak termasuk nama panggilan, ejekan, membandingkan kekurangan dan kelebihan dengan orang lain, penyiksaan atau perusakan terhadap benda atau binatang kesayangan, kritik yang berlebihan, tuntutan yang tidak pantas, memutuskan komunikasi dan penghinaan. Korban kekerasan emosional biasanya bereaksi dengan menjauhkan diri dari pelaku, internalisasi kata-kata kasar atau dengan menghina kembali pelaku penghinaan. Korban pelecehan emosional cenderung tak berdaya dan cenderung bersikap pasif.
Sebagian kita menyalahkan lemahnya sistim perundangan untuk menjerat pelaku kekerasan fisik dan seksual kepada anak. Pengamat sosiolog UI Fitriani F Syahrul menyebutkan bahwa dampak psikologis pada anak korban kekerasan dan pelecehan seksual cenderung tertutup, sulit beradaptasi bermuatan energy negative dan sensitive.
Frekkuensi dan durasi terjadinya pelecehan seksual dan tidak kekerasan juga berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan seiring pertumbuhan anak. Semakin sering frekuensinya atau semakin lama durasinya maka trauma yang ditimbulkan pada anak juga semakin besar. Semakin besar trauma yang ditimbulkan maka semakin panjang waktu pemulihan yang di butuhkan.
Fitriani juga menambahkan bahwa “side effect”-nya anak mengalami gangguan paranoid, trauma berkepanjangan, ketika ia dewasa akan mengalami masalah berkaitan dengan lawan jenis. Yang lebih ironisnya dampak lain dari kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang diterima anak adalah mereka kelak bisa tumbuh menjadi pribadi yang apatis. Sangat mungkin kelak dirinya akan melakukan tindakan yang dialaminya pada masa kecilnya alias menjadi pelaku kekerasan dan pelecehan itu sendiri.
Beberapa cara menghindari kekerasan fisik dan pelecehan seksual pada anak adalah :
1.Ajarkan keterbukaan.
Ajarkan anak untuk tidak menyimpan rahasia dengan menstimulasi kebiasaan bertanya dan meminta si kecil bercerita kegiatan sehari-hari saat ia senang, sedih, takut dan gembira.
2.Hindari asesoris nama.
Jangan kenakan kalung, gelang atau pakaian yang bertuliskan nama anak anda jika terpaksa anak harus jauh dari orang tua. Hal ini untuk menghindari orang asingatau oknum yang berniat jahat atau penculik yang menyebutkan nama seolah sudah mengenal si kecil dengan baik.
3.Mulailah mengajarkan “sex education” sejak dini di rumah.
Ajarkan bagaimana menjaga kebersihan organ intim dan keamanan dari sentuhan orang asing selain anggota keluarga yang dikenalnya. Jika ada yang memegangnya ajarkan untuk berteriak dan lari.
4.Tidak mempercayai orang asing.
Dalam budaya kita memang diajarkan ramah dan sopan, namun kondisi saat ini orang tua dituntut untuk pandai-pandai menyampaikan kepada anak bagaimana sebaiknya bersikap kepada orang asing.
Saat ini seperti yang sering kita dengar di berbagai media bahwa anak-anak rentan menjadi sasaran pelecehan seksual selain faktor karakteristik kepribadian pelaku pelecehan, karakter personal yang dimiliki korban sedikit banyak berpengaruh sepertiPENAMPILAN FISIK, dimana saat ini pertumbuhan anak-anak lebih cepat karena pengaruh hormon dan gizi. Selain itu PERILAKU anak yang mudah terbujuk dan dekat dengan orang asing sangat rentan dengan pelecahan seksual.
Saat ini upaya untuk mengatasi kasus pelecehan seksual anak secara hukum telah ada Undang-Undang yang mengaturnya secara jelas. Yang masih membutuhkan perhatian adalah upaya pencegahannya. Upaya pencegahan harus dilakukan secara komprehensif, artinya tidak bisa dilakukan hanya satu pihak saja (orang tua dan keluarga) melainkan harus terintegrasi dengan pemerintah, sekolah serta tenaga professional yang memiliki konsentrasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Jadi sebaiknya orang tua perlu memahami bahwa tindak kekerasan yang dialami oleh anak-anak sebenarnya bisa diatasijika ditangani dengan benar. Namun sebaliknya sudah dipastikan seandainya tidak ditangani, apalagi kekerasan itu dialami oleh anak itu terjadi di lingkungan rumah sendiri dalam jangka waktu yang lama dan dilakukan oleh orang tuanya. Bisa kita bayangkan beberapa tahun ke depan kita akan mendapatkan generasi yang memiliki gangguan psikology akibat traumatik masa kecil…Masyaallah…..
Al_30042014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H