Lihat ke Halaman Asli

Maha Puja Kumbhabisegam Shri Hanuman Kuil

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Maha Puja Kumbhabisegam

Shri Hanuman Kuil

Penelitian Hari Pertama (Sabtu, 22 Maret 2014)

Sekitar pukul 16.30 WIB, penulis tiba di  areal FISIP USU dan segera bergabung dengan teman-teman lain yang duduk di dekat trotoar. Tampaknya mereka sudah lama menunggu. Sembari menanti angkutan umum yang akan membawa kami ke Shri  Hanuman Kuil, canda tawa pun menghiasi areal FISIP USU itu. Untuk biaya angkutan, kami membayar Rp.16.000 per orang dengan kesepakatan diantar sampai ke tempat tujuan . Sebelum berangkat beberapa orang kakak pembimbing mulai mengabsen agar mengetahui siapa saja yang sudah hadir. Tak berapa lama, kami naik ke angkot. Angkot bercat kuning itu melaju dengan kecepatan sedang, ada pula yang mengendarai sepeda motor.  Waktu yang dibutuhkan menuju Shri Hanuman Kuil tak terlalu lama, hanya sekitar 20 menit.

Setibanya disana, penulis mengamati sekeliling dan mulai mengeluarkan kamera sebagai alat dokumentasi. Spanduk terpampang beberapa meter dari kuil tersebut, papan bunga yang dipasang di sisi kiri dan kanan jalan juga menambah ramainya suasana di sore itu.  Penulis terlalu asyik memperhatikan orang-orang yang sedang mempersiapkan upacara, sehingga tidak menyadari bahwa teman-teman yang lain ternyata sudah sibuk mewawancarai informan. Akhirnya penulis mengikuti mereka. Namun, karena terlalu ramai penulis hanya bisa mengambil gambar dari jauh dan tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dijelaskan oleh orang tersebut. Saat itu tidak banyak yang bisa penulis lakukan selain menekan tombol kamera, mencari fokus objek yang akan difoto maupun direkam.

Perayaan Maha Puja “Kumbhabisegam” Shri Hanuman Kuil, itulah yang tertulis di spanduk yang terpampang tak begitu jauh dari kuil. Shri Hanuman Kuil berada di jalan Teratai Ujung no.97, Kel. Sari Rejo, Kec. Medan Polonia (Karang Sari). Sebenarnya Kuil ini sudah ada sejak tahun 1979 yang berukuran 3x3 m, pada tanggal 12 Juni 2011 kuil tersebut mulai direnovasi, dan diresmikan pada tanggal 21-23 Maret 2014. Saat ini kuil itu  memiliki ukuran 12x5 m, sedangkan luas areal kuil sebesar 45x70 m.

.

Kaaval Theivam

Kuil ini juga merupakan tempat untuk beribadah. Umat Hindu tamil yang datang berdoa disini, bisa dilakukan sebelum ataupun sesudah ke Kuil Shri Hanuman.   Disini terdapat 3 (tiga) patung Dewa. Dewa Muniandi, Dewi Kaliamman, dan Dewa Marutha Tiiran adalah kakak beradik. Dewi Kaliamman adalah yang termuda diantara mereka bertiga. Mahkota yang digunakannya sebagai perhiasan dan terdapat warna hijau yang melambangkan kedamaian. Ada dukun yang iri kepada Dewi dan  ingin membunuh pemuja Dewi Kali, hingga akhirnya mereka pun berkelahi, Dewi pun memenangkan pertarungan, kepala dukun itu dipotong dengan menggunakan senjata trisula, kemudian kepalanya dimasukkan ke dalam tanah. Pada gambar di atas Sang Dewi sedang menginjak yeme (kepala kerbau). Yeme merupakan pencabut nyawa. Ketika Dukun itu mengganggu Sang Dewi, maka Sang Dewi pun menyuruh Yeme mencabut nyawa dukun itu. Disana ada juga tempat untuk membakar dupa, minyak lampu untuk perlengkapan beribadah. Lonceng yang tergantung di depan kuil itu dibunyikan oleh setiap orang yang akan beribadah, tulisan Mandarin yang berarti rezeki terlihat pada anak lonceng. Sedangkan aksesoris yang digantung di pintu masuk merupakan gambar Dewa yang berfungsi sebagai jimat atau biasa mereka sebut dengan istilah palang pintu. Biasanya ini juga dipasang di  pintu-pintu rumah orang India. Di depan Kaaval Theivam terdapat keramik yang berukuran 1x1 m, tingginya kira-kira 50 cm, di atasnya ada sebuah dupa dan sulo. Sulo yang berdiri tegak ini biasanya digunakan untuk menyerang musuh.

Ketika hendak memasuki areal Shri Hanuman Kuil, penulis dan teman-teman lainnya diminta untuk membuka alas kaki, karena kuil adalah tempat yang suci. Palbidem yang letaknya di depan kuil digunakan untuk tempat berdoa sebelum masuk ke Kuil.

Di bagian dinding terdapat banyak lukisan, dan penulis tertarik melihat lukisan yang menggambarkan (lima) jelmaan dari wajah Dewa Hanuman atau yang disebut dengan panca muki, antara lain wajah kuda, singa, harimau, garuda, dan babi. Saat itu pula informan menjelaskan mengapa umat Hindu Tamil tidak memakan daging babi, karena merupakan salah satu jelmaan Dewa hanuman itu sendiri. Sebuah undil diletakkan di depan kuil, undil merupakan tempat untuk memasukkan sumbangan. Sebelum memasukkannya, orang yang memberikan sumbangan itu meniatkannya terlebih dahulu. Namun, informan menjelaskan lagi bahwa yang dimasukkan ke dalam undil itu tidaklah uang semata. Menurut informasi yang penulis peroleh, ada juga yang memasukkan emas batangan ke dalamnya. Tidak ada sebuah paksaan yang mengharuskan mereka memasukkannya, tergantung niat.

Shri Hanuman Kuil

Di bagian paling atas   ada kepala barong yang dipercaya sebagai penjaga Dewa Hanuman, di bawahnya ada Rama  dan Sinta, di samping ada Arjuna, yang berwarna biru adalah Krisna, serta anak buah Hanuman.  Ganesha juga terdapat pada Bangunan kuil tersebut.  Ganesha adalah anak dari Dewa Syiwa. Namun ketika Ganesha lahir Dewa Syiwa tidak mengetahuinya karena saat istrinya mengandung, Dewa Syiwa sedang pergi untuk waktu yang cukup lama. Kemudian Ibu Ganesha berpesan ketika hendak pergi ke luar rumah. “Jika kamu mendengar seseorang mengetuk pintu, jangan pernah membukanya, sekalipun itu ayahmu”Kata Ibu Ganesha. Beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu,  ternyata itu adalah ayah dari Ganesha. Seperti pesan Ibu Ganesha, bila ada yang datang dan mengetuk pintu jangan dibuka. Ganesha mematuhinya. Akhirnya pintu pun dibuka dengan paksa. Kemudian Dewa Syiwa memenggal kepala Ganesha karena kesal.

Ibu Ganesha pun pulang dan melihat Kepala Ganesha yang sudah terpenggal. Ia sangat marah kepada Dewa Syiwa. “Begitu teganya engkau memenggal kepala anakmu sendiri” ucapnya. Turunlah Dewa Wisnu dari langit dan mengatakan jika mereka masih menginginkan Ganesha hidup bersama mereka, Ayah dan Ibu Ganesha harus pergi ke hutan mencari binatang yang berkaki 4 (empat) dan yang tidurnya dalam posisi miring. Kemudian mereka carilah binatang yang dimaksud oleh Dewa Wisnu tadi. Mereka menemukan gajah. Dengan kesaktian yang dimiliki oleh Dewa Wisnu jadilah Ganesha hidup dan menyerupai gajah. Di beberapa sisi terlihat lambang huruf  “U” serta garis biru, putih, dan merah. Kuil ini membelakangi arah terbitnya matahari.

Tanpa terasa sang mentari sudah mulai bergeser ke Barat, lama-kelamaan menghilang. Keadaan sekitar kuil sudah semakin ramai. Dua orang lelaki India yang duduk beralaskan tikar mulai memainkan alat musik mereka yaitu thawil dan nadhaswaram untuk memanggil roh para Dewa dan juga sebagai tanda upacara akan dimulai Mereka adalah dua orang pemusik yang didatangkan langsung dari India.

Kemudian Gurukal Vasu masuk ke yagasalai. Yagasalai merupakan tempat berbentuk persegi empat yang di sisi kiri kanannya digantungkan dedaunan, yagasalai digunakan sebagai tempat pemberkatan. Lukisan bunga teratai yang ada di setiap pintu masuk yagasalai itu melambangkan kesucian. Tidak ada seorang pun perempuan yang masuk ke yagasalai.

Beberapa kalsem  yang sudah dibacakan mantra diletakkan di atas meja, kalsem ini terdiri dari sebuah kendi yang berisi air suci, kelapa yang sudah dibuang kulitnya namun masih bulat, berisi. Ada kalsem yang berukuran lebih besar dari yang lainnya, di atasnya dililitkan selendang yang menggambarkan Dewa Hanuman. Selain itu ada juga pisang dan beras.

Tenere (putih), sandeno, tepung, kunyit, tepung beras, rempah-rempah, kacang-kacangan yang sudah disiapkan disusun di atas karpet di luar Yagasalai. Umat perempuan Hindu Tamil duduk terpisah dengan yang laki-laki. Semua menghadap ke yagasalai. Upacara yang akan dilakukan bernama homom. Upacara ini dipimpin oleh seorang Gurukal yang berasal dari Srilanka. Umat berbaris, laki-laki disusul oleh umat yang perempuan. Beberapa orang berdiri membagikan bahan-bahan upacara ke genggaman para umat. Mereka berjalan mengelilingi yagasalai sampai pada homom gundam. Mereka memasukkan apa yang mereka genggam tadi ke dalam api pembakaran sambil menyampaikan niat, doa, maupun permohonan mereka kepada Dewa dengan harapan mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pemusik kembali memainkan alat musiknya. Lonceng dibunyikan. Gurukal memasuki kuil sambil menggendong arca Dewa Hanuman  yang akan diletakkan di dalam kuil, diikuti oleh umat. Inilah yang disebut dengan acara ashdabandanam. Satu per satu keluar dari kuil.

Kentang, labu, tempe, acar, buah dan sayuran lain terhidang dengan baik di meja prasmanan yang dijaga oleh wanita Tamil. Setiap orang bebas mengambil dan memilih makanan yang mereka suka. Kemudian duduk di bangku yang telah disediakan sambil menikmati hidangan malam itu.

Sekitar pukul 21 wib, penulis dan teman-teman yang lain menyempatkan diri untuk berfoto bersama seorang anak laki-laki bernama Shailendra, usianya 15 tahun. Ia datang dari Malaysia bersama ibu dan adik-adiknya. Setelah itu, tak lupa kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih. Penulis pulang bersama teman yang lainnya. Rencana untuk keesokan harinya adalah berkumpul lagi di FISIP pada pukul 08.00 WIB agar berangkat bersama lagi.

Penelitian Hari Kedua (Minggu, 23 Maret 2014)

Pagi itu penulis tidak berangkat bersama teman yang lain, melainkan diantarkan oleh salah seorang teman yang bukan merupakan mahasiswa Antropologi. Awalnya ia sangat meyakini bahwa kuil yang penulis maksud sama dengan yang ia maksud. Namun kecurigaan penulis muncul ketika kami melewati jalan yang tidak dilalui kemarin. Ternyata kami salah jalan. Akhirnya kembali ke Jalan jamin Ginting. Dengan  kecepatan tinggi, kami pun melaju. Penulis memutuskan untuk tidak diantar sampai ke depan Shri Hanuman Kuil.

Dengan menggendong tas cokelat dan tas kamera, penulis terus saja menyusuri jalan, meskipun tidak tahu jalan menuju Kuil tersebut. Terdengar suara teriakan dari belakang, mereka adalah teman-teman yang juga akan pergi ke kuil. Mereka mengajak penulis agar ikut bersama mereka. Awalnya penulis menolak ajakan mereka. Penulis berpikir lagi dan mengiyakannya. Untung saja penulis ikut mereka, karena Shri Hanuman Kuil masih jauh.

Penulis dan teman yang lain tiba sebelum acara dimulai. Lagu-lagu India yang diputar menambah ramai suasana di kuil. Para tamu tiba. Wanita -wanita menggunakan sari, dan laki-laki menggunakan wedhi. Sebagai tanda penghormatan, laki-laki berbaris masuk ke yagasalai, Gurukal pun mengoleskan tunere ke dahi mereka.

Gurukal membagikan kalsem satu per satu kepada mereka di dalam yagasalai, kemudian setiap orang yang telah menerimanya menjunjungnya, membawanya keliling kuil sebanyak satu kali, masuk ke kuil dan mendoakannya. Setelah kembali ke yagasalai, doa-doa dan mantra pun mulai dibacakan. Sesekali mereka mengangkat tangan mereka hinga di atas kepala. Gurukal memegang kendi kecil berisi api yang menyala serta mengarahkannya ke dekat turwaci seraya memutarnya.

Umat yang berada di luar yagasalai  juga mengikuti upacara dengan hikmad. Gurukal berdiri di samping turwaci, memegang buku doa dan membacakannya, dilanjutkan oleh Shailendra. Nadhaswaram ditiup oleh pemusik, dan thawil yang dipukul oleh pemusik mengiringi jalannya upacara. lai  Di dalam yagasalai, dua orang lelaki tamil mencabut hiasan yang menancap di atas kalsem. Kalsem dibagi lagi. Seorang pria berdiri di barisan paling depan sambil memegang payung, sementara yang lainnya mengikuti dari belakang dengan kalsem yang mereka junjung dan berjalan beriringan lalu mulai naik ke tangga kuil.

Sesampainya di atas kuil air suci pun disiramkan ke bagian kuil untuk mensucikan kuil, perlahan-lahan air suci yang disiram itu mengalir ke bawah. Orang-orang yang berada di bawah menampung air suci itu dengan menggunakan gelas Aqua maupun plastik bening agar mendapat berkat dari Dewa. Setelah itu mereka menuruni kuil.

Lonceng dibunyikan, kemudian Gurukal dan pengurus-pengurus kuil berjalan keliling membawa turwaci. Para umat pun mengikuti mereka sampai ke dalam kuil. Arca Dewa Hanuman tersebut dihiasi dengan berbagai hiasan, dipasangkan kalung yang terbuat dari bunga. Usai menghiasi arca Dewa Hanuman, Gurukal beserta umat keluar dari kuil. Di depan pintu seorang lelaki tua sedang sedang memercik-mercikkan air suci ke areal kuil dengan menggunakan daun, maksudnya adalah untuk membagikan berkat kepada umat. Hal yang unik ada lagi, penulis melihat Selada digantung di atas pintu masuk kuil dengan amplop merah seperti angpao diikat di sayuran tersebut. Rasa Bingung kembali menghampiri penulis.   Di sela-sela acara tersebut penulis melihat seorang anak laki-laki yang sangat tampan, yang ada di benak penulis dia terlihat seperti orang Pakistan tapi tak semapat bertanya banyak karena dia masih sangat kecil, pasti susah untuk ditanya. Begitu juga dengan Gurukal, ia memercikkan air suci di dekat palbidem yang berada di depan kuil, umat pun tampak menerima percikan air tersebut, lalu membuat puja di palbidem serta memanjatkan doa-doa.

Kelapa-kelapa yang masih ada kemudian dipecahkan, kelapa ini digunakan karena merupakan buah yang dianggap suci. Sebelum kelapa ini dipecahkan, mereka membacakan doa-doa terlebih dahulu, berniat, barulah dipecahkan.

Di luar kuil, tepatnya di badan jalan, penulis agak terkejut melihat beberapa remaja laki-laki yang tampaknya bukanlah orang India malainkan Tionghoa. Mereka berseragam kuning membawa alat-alat untuk memainkan barongsai. Namun, penulis tak terlalu memikirkan mengapa ada mereka disana. “nanti sajalah ditanyakan, bukan saatnya bertanya di dalam keramaian ini” ucap penulis dalam hati. Sebelum masuk ke dalam areal kuil, remaja-remaja itu tersenyum dan minta untuk di foto.

Sesaat kemudian mereka mulai menunjukkan aksi mereka memainkan barongsai. Para warga ikut menonton pertunjukan barongsai itu. “Mengapa barongsai?” penulis kembali bertanya dalam hati. Penjelasan informan yang cukup jelas akhirnya menjawab pertanyaan penulis. Ternyata Barongsai itu diundang untuk mengisi acara hiburan pada peresmian kuil tersebut. Awalnya penari-penari yang akan menari tarian India sudah diundang tetapi ternyata mereka tidak datang sehingga barongsai lah sebagai penggantinyya. Selada ber angpao tadi adalah tempat untuk mengisi uang, diisi oleh panitia yang telah mengundang barongsai dan akan diberikan kepada pemain-pemain barongsai yang udah tampak lelah beratraksi. Buah-buahan, kue, tose disiapkan oleh beberapa orang panitia di meja depan, penulis tidak tahu pasti akan diapakan dan dibawa kemana makanan-makanan itu dan siapa yang akan memakannya.

Atraksi barongsai sudah selesai. Penulis melihat orang Tionghoa yang membawa barongsai itu sedang beribadah di dalam Shri Hanuman Kuil. Setelah mendapat penejelasan dari informan, Dewa yang dipuja oleh Orang Tamil memiliki kesamaan dengan Dewa orang tamil, sehingga bisa beribadah di kuil-kuil orang India. Hal yang paling membuat penulis terkejut adalah ketika informan penulis, yaitu Bang  Jupen yang berumur 25 tahun itu ternyata beragama Buddha. Entahlah Semakin bingung saja.

Gurukal dan Shailendra duduk di depan yagasalai dengan dua tumpuk tali berwarna biru dan kuning. Umat pun kembali berbaris begitu juga dengan penulis dengan teman-teman yang lain. Satu per satu berjalan, duduk, menunduk, memberikan sumbangan secara sukarela dan diletakkan di dekat tumpukan tali-tali tersebut.  Saat itu pulalah Shailendra memasang potte di kening umat maupun tamu yang ingin dipasangkan, lalu Sang gurukal mengikatkan tali-tali berwarna kuning dan biru tadi ke tangan kami. Penulis memperhatikan ikatan pada gelang itu, tidak langsung diikat dengan simpul mati. Pertama ada ikatan kecil, yaitu simpul delapan namanya, kemudian dililit sekali lagi dan diikat. Saat itu penulis mendapatkan gelang berwarna biru

Sudah waktunya makan siang, lagi pula makanan sudah tersedia di meja hidangan. Penulis pun segera menuju meja hidangan, mengambil makanan secukupnya, lalu duduk dan menikmatinya dengan lahap. Penulis kembali bergabung dengan teman-teman yang lain. Ada 3 (tiga) orang anak perempuan yang duduk tepat di depan kursi penulis. Penulis mencoba untuk mengobrol dengan mereka, menanyakan nama dan tempat mereka tinggal. Mereka juga menjawab dengan wajah yang gembira tanpa ada rasa takut, bahkan sesekali mereka juga memberikan pertanyaan kepada penulis. Mereka melihat gelang yang penulis pakai. Salah satu dari mereka mengatakan bahwa gelang yang dipakai itu sebagai penangkal agar kita dijauhkan dari bahaya dan selalu dilindungi oleh Dewa kemana pun kita pergi, dan jika sudah lepas sebaiknya tidak usah dipakai lagi, digantungkan saja di pintu atau disimpan.

Setelah lebih dari setengah jam menunggu. Akhirnya mobil hitam yang dikawal oleh  Patwal dengan nomor plat 25711-II tiba. Seseorang membukakan pintu mobil itu, dan keluarlah seorang lelaki berkacamata dengan memakai baju batik. Dia adalah Plt Walikota Medan yang akan meresmikan Shri Hanuman Kuil. Semua tampak sibuk menyambut kedatangannya. Pengurus kuil memasangkan kalung yang terbuat dari bunga ke Plt walikota itu. Penulis melihat kalung itu tampak seperti yang ada di Arca Dewa Hanuman. Kemudian beliau duduk di kursi yang telah disediakan.  Tidak seperti kami, ketika masih berada di luar kuil mereka  tetap menggunakan alas kaki berupa sepatu. Tetapi ketika masuk kuil mereka maembuka alas kakinya. Acara pun dilanjutkan dengan pemberian kata sambutan dari ketua panitia peresmian kuil, dll.

Plt Walikota Medan didampingi oleh pengurus-pengurus serta umat memasuki kuil. Peresmian kuil ditandai dengan pengguntingan pita di dalam kuil dan penandatanganan prasasti oleh Plt Walikota Medan. Umat berbaris membawa buah-buahan segar masuk ke da lam kuil untuk dipersembahkan kepada dewa.

Tidak ingin rasanya pengalaman itu berlalu begitu saja, apa salahnya mengabadikan dalam bentuk foto. Kami pun berfoto sejenak. Kemudian bersalaman dan mengucapakan terima kasih kepada mereka yang telah bersedia menerima kami untuk mengikuti acara peresmian Shri Hanuman kuil. Para pengurus kuil juga mengatakan kepada kami untuk datang jika da acara lagi. Kami pun berlalu meninggalkan Jalan Teratai Ujung itu.

Penulis merasakan kesenangan tersendiri ketika melakukan penelitian di Shri hanuman Kuil, apalagi ini adalah pengalaman pertama melakukan penelitian. Penulis juga terkesan dengan suasana budaya yang terlihat pada saat melakukan penelitian. Namun tidak bisa dipungkiri, penulis mendapatkan pengalaman yang luar biasa meskipun herus memotret sana-sini karena tidak ingin ketinggalan momen-momen penting pada saat prosesi upacara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline