Lihat ke Halaman Asli

Widya Ayu Salsabila

Engineering Physics Student at Bandung Institute of Technology

Kapan Indonesia Akan "Menguasai Dunia"?

Diperbarui: 27 Februari 2022   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Likupang (sumber: https://ebtke.esdm.go.id/)

"Siapa yang menguasai energi, maka akan menguasai dunia". Dahulu, energi dalam kalimat tersebut merupakan minyak bumi dan batu bara. Saat ini, energi yang dimaksud beralih ke energi terbarukan salah satunya adalah energi surya. Dengan potensi yang melimpah, akankah Indonesia dapat "menguasai dunia"?

Selama dua abad terakhir, peta geopolitik dunia dibentuk salah satunya oleh kekuasaan atas bahan bakar fosil. Kepemilikan suatu negara akan bahan bakar fosil digunakan sebagai kekuatan politik dalam ekonomi dan perdagangan dunia. Amerika, Arab Saudi, dan Rusia merupakan tiga negara penghasil bahan bakar fosil terbesar di dunia. Ketiga negara tersebut juga merupakan negara yang memiliki kekuasaan politik yang kuat. Namun, saat ini dunia setuju untuk mulai meninggalkan bahan bakar fosil dan beralih ke energi yang lebih bersih. Seperti halnya bahan bakar fosil, transisi ke energi terbarukan akan mengubah distribusi kekuatan global, hubungan antar negara, dan negara penggerak ekonomi dari peta geopolitik yang ada.

Energi terbarukan yang perkembangannya paling pesat adalah energi surya. Semua negara berlomba-lomba "menguasai" energi ini. Cina merupakan negara yang hingga saat ini menjadi pemimpin industri energi surya di dunia. Bagaimana tidak? Industri energi surya di Cina sudah sangat terintegrasi dari hulu hingga hilir. Mulai dari riset dan pengembangan, produksi komponen, perakitan komponen, instalasi, hingga after-service, semuanya ada. Bagaimana dengan Indonesia?

Beberapa tahun terakhir, Indonesia mulai gencar beralih ke energi surya. Pemerintah saat ini sangat mendorong proyek untuk meningkatkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Namun, industri energi surya di Indonesia belum terintegrasi dari hulu samapai hilir. Kini, Indonesia masih berfokus pada industri tahap perakitan komponen dan instalasi PLTS. Industri perakitan komponen PLTS di Indonesia tidak terlihat begitu berkembang. Berbeda dengan industri di tahap instalasi PLTS yang semakin dilirik dan keberadaannya semakin menjamur. Hal ini dapat dilihat dari jumlah perusahaan yang bergerak di bidang EPC (engineering, procurement, and construction) PLTS yang terus meningkat.

Bukan hanya di Indonesia, sebenarnya karakteristik industri energi surya yang seperti ini juga ditemukan di negara berkembang lainnya. Negara berkembang biasanya hanya akan berfokus pada peningkatan kapasitas penggunaan energi surya karena biaya yang dikeluarkan masih masuk akal dan menghasilkan keuntungan yang besar pula. Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa dana yang harus dikucurkan untuk riset dan produksi komponen jauh lebih mahal dibandingkan instalasi. Lalu, apakah Indonesia mungkin untuk "menguasai dunia"?

Jawabannya, tentu mungkin. Pergeseran peta geopolitik akibat gerakan transisi energi menjadi kesempatan Indonesia unjuk gigi dan menunjukkan kekuasaannya. Kenapa tidak? Indonesia memiliki potensi sumber daya yang melimpah. Mulai dari mineral logam untuk pembuatan komponen hingga potensi matahari yang terus ada sepanjang tahun. Namun, Indonesia hanya akan "menguasai dunia" apabila industri energi surya Indonesia sudah terintegrasi dengan baik dari hulu ke hilir. Bagaimana caranya?

Langkah pertama, Indonesia harus mulai memperhatikan industri energi surya di sisi hilir. Indonesia harus sadar akan kekayaannya dan memanfaatkan sumber daya tersebut dengan baik. Cina yang tidak memiliki kekayaan sumber daya sebesar Indonesia saja mampu untuk menjadi "raja" industri energi surya. Kenapa Indonesia tidak bisa? Selama ini, raw material yang ada di Indonesia diekspor ke negara lain, salah satunya Cina, untuk dijadikan bahan baku komponen sel surya. Lalu, sel surya tersebut dibeli kembali oleh Indonesia untuk dirakit menjadi panel surya. 

Oleh karena itu, Indonesia butuh untuk mengembangkan industri pembuatan komponen dalam negeri. Bayangkan apabila hal ini dilakukan. Selain Indonesia dapat mengekspor raw material, namun juga dapat memanfaatkannya untuk produksi panel surya sendiri. Panel surya produksi dalam negeri dapat meningkatkan presentase TKDN dalam sebuah PLTS yang ujung-ujungnya dapat mengurangi biaya listrik hasil PLTS dan mendorong peningkatan penggunaan energi surya. Sangat menguntungkan bukan?

Langkah kedua, Indonesia butuh muai berinvestasi ke riset dan pengembangan. Memang, biaya yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ini sangatlah banyak. Namun, hal ini menjadi penting mengingat banyaknya potensi di Indonesia yang belum dimanfaatkan. Apabila Indonesia ingin "menguasai dunia", sudah saatnya kita beralih menjadi penginisiasi bukan pengguna semata. Penelitian yang selama ini sudah dilakukan oleh perguruan tinggi dan badan riset harus lebih didukung dari segi dana dan kebebasan untuk meneliti. Selain itu, penelitian yang dilakukan juga harus didukung ke tahap implementasi. Banyak hasil penelitian di Indonesia yang output-nya hanya sekedar hasil penelitian yang ditulis dalam bentuk jurnal. Perlu ada realisasi atas penelitian tersebut sehingga dapat muncul paten-paten dari Indonesia.

Apabila kedua hal ini dapat terealisasi, maka industri energi surya di Indonesia akan terintegrasi dengan baik dari hulu ke hilir. Riset dan pengembangan yang didukung penuh, pengolahan raw material untuk produksi komponen dalam negeri, perakitan komponen, instalasi pembangkit yang terus meningkat, hingga after-service. Saat semua itu terlaksana, di saat itulah Indonesia dapat "menguasai dunia".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline