Lihat ke Halaman Asli

Widya Apsari

TERVERIFIKASI

Dokter gigi, pecinta seni, pemerhati netizen

Dididik Menjadi Dokter Gigi atau Tukang Gigi?

Diperbarui: 13 Agustus 2016   17:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: expertbeacon.com

Di tahun ke 2 saya menjadi dokter gigi, saya tiba-tiba merasa tidak ada bedanya dengan tukang gigi.

Apa yang ada dibenak anda ketika bertemu dengan dokter gigi? Selain tentang mahal dan menyakitkan? Ada lagi? Dokter yang mengurusi gigi? atau dokter yang kurang pintar karena kalau pintar udah pasti jadi dokter umum?

Di tahun ke 2 saya menjadi dokter gigi, setelah saya menyelesaikan masa bakti saya sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) di daerah barat Indonesia yang saat ini ditetapkan sebagai daerah kabupaten sangat terpencil oleh Presiden Jokowi. Ada yang tahu? Gak ada? Adalah Kabupaten Nias Utara. Dimana itu? Gak tahu? Silahkan googling dan bukalah atlas Indonesia.

Kehidupan saya setelah tidak lagi menjadi dokter PTT adalah menjadi dokter gigi kutu loncat. Praktek dokter gigi dari klinik satu loncat ke klinik lain dari pagi sampai malam menunggu pasien yang sakit gigi. Ayo.. pasti anda berpikir "wah banyak nih duitnya".

Sayangnya pikiran anda meleset, kalau 6 tahun lalu itu saya memiliki banyak pasien dan kaya raya seperti yang tadi anda pikirkan, mungkin saya tidak ada disini untuk menuliskan opini saya dan mungkin juga tidak ada gelar Sp.PM (spesialis penyakit mulut) di belakang nama saya. 

Kehidupan profesi dokter gigi saya adalah sebatas gigi lubang-ditambal, gigi rusak banget, dicabut, buat gigi palsu (kalau pasiennya mau). Karang gigi banyak, discalling (kalau pasiennya mau). Selama 1 tahun saya menjalani rutinitas tambal-cabut-tambal-cabut-tambal-cabut-scalling-buat gigi palsu tersebut selama 1 tahun. Sampai pada satu titik saya merasa seperti seorang "tukang"

Seperti tukang ban, yang menambal ban ketika melihat ban bocor atau seperti tukang genteng yang mengganti genteng baru ketika genteng lamanya retak-retak. Dan saya merasa mungkin tukang ledeng lebih pintar dari saya sebagai dokter gigi, kerena sebelum bertindak mengatasi kerusakan pipa, tukang ledeng masih menganalisa dan mencari penyebab sumber utama kerusakan pipa dan pipa mana saja yang mungkin terlibat dalam sumbatan yang terjadi di tempat lain. 

Kenapa saya merasa seperti itu? Karena selama saya praktek, saya melupakan yang namanya mencari diagnosa penyakit giginya sebelum bertindak. Yang saya kerjakan cuma "oh gigi lubang, yauda tambal". Mirip dengan tukang ban "oh bocor, yauda tambal". atau "oh giginya udah rusak parah, yaudah cabut, dan kita ganti dengan gigi palsu", mirip juga kan sama "oh gentengnya udah retak parah, kita ambil genteng lamanya dan ganti baru". Bedanya kalalu buat gigi palsu  klien masih bisa menolak, berbeda sama tukang genteng, gak mungkin ada orang yang menolak dipasangkan genteng baru ketika genteng lamanya sudah diambil. 

Seharusnya bagaimana?

Waktu itu saya belum tahu harusnya bagaimana. Tapi sekarang saya tahu..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline