Lima tahun yang lalu, saya beserta ibu dan kakak melakukan ritual tahunan yaitu mudik ke Jogja. Perjalanan yang kami tempuh bisa dikatakan relatif jauh karena harus menyeberangi laut Jawa. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, kami memilih kapal laut sebagai alat transportasi yang membawa kami pergi dari Pulau Kalimantan menuju Pulau Jawa. Karena saat itu adalah bulan Ramadhan, sebelum kami melakukan perjalanan, ibu menyanyakan sesuatu hal kepada aku yang saat itu berumur 10 tahun dan kakak ku yang berumur 13 tahun. Pertanyaan ibuku hanya pertanyaan sederhana, “Besok waktu pergi ke Jogja, mau ikut puasa ndak?” Aku mengangguk tanda mengiyakan, begitu pula dengan kakakku. Saat itu sudah terjadi kesepakatan antara kami bertiga (ibuku,kakakku dan aku) agar saat perjalanan besok kami akan tetap berpuasa. Kesepakatan itu yang membuat diriku mendapatkan pelajaran TOP 1 yang sangat berharga saat bulan Ramadhan kala itu.
Perjalanan dimulai. Saat itu suasana di dalam kapal sangat tidak kondusif. Banyak orang berdesakkan, sampai-sampai ada yang tidur di sepanjang lorong kapal. Sehingga saat malam hari kami harus berhati-berhati berjalan agar tidak menggangu penumpang lain yang sedang menikmati tidurnya. Tapi, alhamdulilah kami masih dapat berbuka puasa dengan nyaman direstauran kapal.
Setelah berjalan-jalan mengelilingi kapal, kami masuk kedalam kamar untuk tidur agar besok pagi tidak terlambat sahur. Lagi-lagi kami harus berhati-berhati dalam melangkah karena lorong didepan kamar sudah penuh bak lautan manusia. Sungguh pemandangan ironis, saat bulan puasa mereka harus tetap bersabar didalam kapal walau dengan kondisi yang tidak mengenakkan. Tapi, mereka tetap semangat menjalankan tradisi yang telah turun menurun di Indonesia, yaitu mudik.
Sekitar jam 3-an , ibu membangunkan aku dan kakakku untuk pergi sahur. Seperti saat berbuka puasa, kami menyantap makanan sahur dengan nikmat sambil menikmati pemandangan malam hari di kapal. Kapal cukup bergoyang tapi tak cukup untuk membuat kepala kami pusing. Bunyi ombak menambah ramai suasana kapal di dini hari kala itu.
Sekitar jam 8 pagi, pelabuhan Surabaya mulai tampak. Kapal mulai bersiap untuk melabuh. Semua barang-barang sudah kami kemasi dan sudah siap angkat. Kami juga sudah mandi dan berpakaian rapi. Perlahan kapal yang kami tumpangi, merapat ke pelabuhan dan jangkar mulai diturunkan. Akhirnya kapal sudah melabuh dan tangga kapal mulai diturunkan. Aku, Ibuku, dan kakakku perlahan turun dari kapal. Dan dengan sigap ibuku membawa kami menuju salah satu mobil travel yang akan membawa kami menuju Yogyakarta. Perjalanan dari Surabaya menuju Yogya akan kami tempuh selama 8 jam. Tapi perjalanan kali ini terasa berbeda karena dalam bulan suci ramadhan. Tapi, perjanjian aku dan kakakku dengan ibuku tetap harus kami pegang teguh.
Mobil yang kami tumpangi melaju dengan cepat melewati ramainya Surabaya. Aku takjub melihat kanan dan kiri jalan dipenuhi bangunan-bangunan megah. Tempat dudukku memang cukup strategis karena berada dekat dengan jendela. Ibu-ibu didepan juga sangat senang melihat aku yang terus bertanya kepada ibuku. Aku bahagia, bahkan sampai tak terasa rasa lapar maupun haus.
Perjalanan ku didalam mobil terasa sangat menyenangkan, sampai ibu-ibu yang duduk dibangku depan mobil membuka kedua jendela yang tadinya tertutup dengan rapat. Sepertinya mereka tidak tahan dengan AC. Aku pun setuju-setuju saja saat mereka meminta izin kepada diriku dan ibuku. Perlahan udara dari luar mobil menyapa diriku. Rasanya dingin sekali.
Tapi, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh yang aku rasakan. Perutku sekarang meraung-raung meminta makanan. Begitu pula dengan tenggorokanku yang terasa sangat kering. Perasaan haus dan lapar mulai menjalar dalam diriku. Tidak hanya itu, angin yang bertiup kencang kedalam mobil menambah buruk suasana. Aku masuk angin. Kepalaku berdenyut pusing. Aku merasa mual. Dan mukaku terlihat sangat pucat. Aku berkali-kali menengok kearah ibu dan kakakku. Tampaknya ibuku sehat bugar, sedangkan kakakku terlihat pusing seperti diriku. Aku senderkan kepalaku diatas bahu ibuku, perlahan ibuku memijat kepalaku. Pijitan ibuku terasa seperti pijitan paling Top 1 yang pernah aku rasakan. Tapi walau pijitan itu dapat menenangkan diriku, perut dan tenggorokkan ku tidak mau berkompromi. Tapi janji ku waktu itu harus tetap aku tepati, apalagi hanya tinggal beberapa jam menuju buka puasa. Aku harus kuat.
Semakin mendekati waktu buka puasa, perutku terasa semakin mual. Aku sudah tak tahan lagi. Ibuku meminta kepada ibu-ibu didepan ku untuk menutup jendela mobil yang selama setengah perjalanan ini sudah dibuka dan membuat diriku mabuk kepayang. Ibu-ibu didepanku menanggapi permintaan ibuku,lalu kedua jendela itu mereka tutup.
Jam tangan ibuku menunjukkan pukul 17.00, artinya sebentar lagi sudah mau berbuka puasa. Aku berusaha menutup mataku namun tetap susah. Aku tak bisa tidur ditengah caruk maruknya diriku. Kepalaku mulai berdenyut kembali. Rasanya ada yang mau aku muntahkan. Aku menahan perasaan itu dengan susah payah. Bau minyak kayu putih menjadi parfumku. Jam 17.30, adzan berkumandang. Tapi kami masih berada dijalanan. Kami belum juga sampai direstaurant yang akan kami singgahi.
Pukul 17.40, mobil yang kami tumpangi masuk ke area parkiran restaurant penyelamat diri kami. Aku langsung meluncur keluar, dan saat berada didepan restaurant itu, semua yang tadi aku tahan selama diperjalanan meluncur keluar. Aku muntah didepan restaurant itu. Setelah itu, aku langsung masuk kedalam restaurant dan menikmati semangku soto ayam hangat tanpa menghiraukan insiden tadi. Kuah soto ayam yang kurasakan terasa hangat melewati tenggorokan hingga sampai ke perutku. Rasanya semua sakit yang kurasakan tadi hilang seketika.
Setelah itu, semuanya terasa indah. Kami melanjutkan perjalanan ke Yogya dengan suka cita dan tentunya dengan perut yang sudah terisi. Setelah itu aku menyadari satu hal yang penting. Hal yang penting itu bukan hanya karena aku bisa berpuasa penuh selama perjalanan. Tapi, saat diperjalanan aku masih berpegang teguh dengan keinginanku yaitu berpuasa penuh selama bulan puasa walau dalam perjalanan panjang sekalipun. Selain itu, dibulan yang penuh berkah di bulan suci ramadhan, aku mampu menepati janji yang aku ucapkan kepada ibuku. Sungguh hal itu adalah kejadian Top 1 selama bulan ramadhan yang paling aku ingat hingga sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H