Oleh: Widuri Melati
Yang paling sempurna dalam hidup ini adalah ketika kita tak membutuhkan apapun, selain tersenyum. Sayangnya sering kali kita berkata kurang, sehingga untuk bisa sedikit tersenyum pun rasanya enggan sama sekali.
Usiaku kini menginjak 26 tahun, usia yang lumayan setengah tua, dan harusnya lebih mantap untuk segera menikah. Tapi sayangnya tidak dengan pikiran ku saat ini. Kecewa yang berkali-kali sering dialami membuat imajinasi tentang menikah itu lenyap. Apa sih menikah itu? Untuk apa? Hanya agar populasi manusia di dunia ini tidak akan habis? Atau mungkin cuma untuk terus berkembang biak saja. Mungkin kurang lebihnya begitu.
Seseorang sering menasehati tentang bab menikah, mencintai dengan sederhana, atau apalah itu aku tak ingin mendengar panjang lebar nasehat seseorang yang belum pernah mengalami banyak masalah dalam hidupnya.
Iya, ibu bercerai. Saat usiaku masih satu bulan. Lalu menikah lagi saat aku duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Lalu bercerai saat aku berumur 21 tahun. Dan menikah lagi saat aku berusia 23 tahun, dengan menjadi istri simpanan. Lalu berpisah lagi dan pada saat usiaku menginjak 24 tahun ibu menikah lagi, dengan laki-laki yang menurutku tak lebih dari sampah hidup. Lalu apa yang mau dicontoh dari sebuah pernikahan yang ku saksikan sendiri sejak dini? Menikah bagiku nampak seperti sebuah permainan, asal tak menjadi haram, menikah bisa dilakukan sesuka hati.
"Nggak semua laki-laki sama, Nur!"
Budhe sering menasehati aku seperti itu, tapi kembali lagi. Aku tidak ingin hidup dengan laki-laki yang cintanya tak akan pernah pasti. Sebentar datang, lalu lain hari pergi dengan wanita pengganti.
"Budhe, yang sudah-sudah kan begitu. Aku nggak mau nasib aku nanti kaya ibu!"
Budhe mengelus kepalaku lembut, hanya dengan Budhe saja aku bisa bercerita segalanya, namun tak pernah sedikit pun aku bisa bercerita atau bermanja-manja dengan ibu. Dia selalu fokus dengan dunianya, dunia bersama banyak laki-laki.
Sering sekali di dalam dadaku tumbuh benci, atau sering sekali di dalam dada ini ada gerutu yang perih. Apa gunanya aku dilahirkan ke dunia ini, jika untuk mendengar atau merasakan lembut tangan seorang perempuan yang melahiran kan aku, justru tak sanggup.
Pernah waktu itu aku bertengkar hebat dengan ibu, hanya karena masalah sepele ibu tega menampar keras wajahku. Saat itu juga hatiku sakit, aku tak mengerti aak siapa aku ini?