Lihat ke Halaman Asli

Advokasi Kalangan Pemuda untuk Mengelola Air di Desa

Diperbarui: 17 September 2016   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Rapat bersama Seluruh Elemen Masyarakat Desa (dok. pribadi)

Saat pertama kali bertemu dengan teman sebaya, pertanyaaan pertama yang sering diutarakan yaitu “kamu sekarang kerja dimana?”. Pertanyaan ini memang lazim untuk kalangan pemuda berusia kurang dari usia 30 tahun. Pertanyaan tersebut seolah-olah menjadi pertanyaan wajib sebelum berlanjut ke pertanyaan lainnya. Jika dicermati pertanyaan di atas, dapat ditafsirkan pemuda bekerja tidak di daerah sendiri atau bekerja keluar kota. Secara umum pemuda tidak berkeinginan untuk mengelola daerah sendiri. Maka dapat dipastikan masyarakat desa didominasi kalangan tetua berusia di atas 30 tahun.

Cukup riskan memang dengan kenyataan yang terjadi, mengingat pemerintah sedang menggalakkan pemusatan perekononian mulai dari tingkat desa. Tetapi jika hanya kalangan tetua yang menggerakkan roda perekonomian desa, dikhawatirkan bergerak lamban. Faktor penyebab kelambanan ini seperti kurangnya kemampuan teknologi infomatika, keterbatasan aktivitas, safety oriented, dan sulit menerima hal-hal baru. 

Fakta menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat desa di Indonesia mayoritas nelayan dan bertani. Dengan mengandalkan faktor potensi alam yang ada di sekitar tempat sudah cukup untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Mungkin bagi sebagian kalangan pemuda sektor pekerjaan ini kurang menarik. 

Namun, ada satu hal yang perlu ditekankan, bekerja dengan memanfaatkan potensi alam di suatu daerah itu gratis. Seorang nelayan dengan memanfaatkan hasil laut dengan menangkap ikan sudah cukup. Petani menanam tanaman pangan di sawah dapat dapat memetik hasil.

Bagi petani yang tinggal di daerah pengunungan mungkin lebih dari itu. Umumnya daerah pegunungan memiliki sumber air. Sumber air selain dapat dimanfaatkan sebagai irigasi pertanian, juga untuk kebutuhan air minum dan rumah tangga. Maka dari sini akan muncul ide, dengan mengelola sumber air yang tersedia di alam dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan. 

Juga dengan memanfaatkan sumber air diharapkan kalangan pemuda untuk tidak bekerja keluar kota, melainkan cukup dengan mengelola sumber air di daerah sendiri sudah menjadi sumber pendapatan. Mungkin terlalu dini untuk mengharapkan bahwa dengan mengelola sumber air akan semudah itu untuk mendapatkan profit. Karena air adalah salah satu item yang dikuasai oleh Negara untuk kemakmuran rakyat yang termaktub di UUD 1945. Maka kalangan pemuda di desa harus bekerja sama dengan pemerintah dalam pengelolaan air ini.

Saat ini saya sedang bekerja sebagai konsultan di program pemerintah untuk penyediaan infrastruktur air minum di masyarakat. Saat terjun ke beberapa desa sesuai wilayah penugasan, masyarakat desa masih didominasi kalangan tetua. Untuk kalangan pemuda masih sebagian kecil. Harapan saya sebagai konsultan yang termasuk pemuda, ada semacam tanggung jawab moril untuk menggerakkan, memotivasi, dan mengadvokasi untuk melakukan suatu hal yang dapat berguna di masyarakat. Karena kekhawatiran saya, jika masih kalangan tetua saja yang bergerak, maka regenerasi akan cepat terputus di desa itu. 

Terkait pengelolaan air, ada tiga hal yang sangat prinsipil bagi masyarakat khususnya kalangan pemuda, untuk dipahami antara lain: (1) pengelolaan air minum harus sejalan dengan pemerintah pusat dan daerah; (2) pemerintah desa memfasilitasi  masyarakat untuk pengenalan pengelolaan air, agar semua elemen mengetahui ekspetasi yang diharapkan; dan (3) masyarakat berkomitmen untuk mengelola sumber air tersebut dan proyeksinya terbentuk sebuah perusahaan di tingkat desa di bawah manajemen BUMDes.

Alasan klasik bagi masyarakat terkendala biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan infrastuktur air minum tidak sedikit. Seperti di Desa A posisi sumber air dekat, sehingga membutuhkan pipa sedikit, maka biaya hanya puluhan juta rupiah. Desa B memiliki sumber air jauh, membutuhkan pipa banyak, maka biaya lebih besar, atau Desa C memiliki sumber air cukup besar, sehingga membutuhkan pembangunan bak penampung, maka biaya lebih besar lagi, dan sebagainya. Perihal ini solusinya dengan pengajuan proposal bantuan dana ke pihak ketiga selain dana swadaya masyarakat itu sendiri. Jadi tidak perlu pesimis terkait kendala pembiayaan tersebut.

Kemudian misalkan sudah memiliki dana swadaya dan dana bantuan dari pihak ketiga, maka penekanan ada manajemen  dari pengelolaan air itu. Karena untuk mempersatukan visi dan misi yang melibatkan banyak orang harus ada struktur organisasi. Dengan pembagian tugas pokok dan fungsi yang sudah disepakati, disahkan menjadi badan hukum dengan berkoordianasi dengan pemerintah desa. 

Lalu dimaksimalkan para pengurus dan pengelola kalangan pemuda dengan dibantu beberapa saja kalangan tetua. Sehinggga dengan kolaborasi pemuda-tetua akan meminimalisir kecemburuan sosial. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline