Kesederhanaan Yang Nampak Rumit
Bagaimana kita konsisten mengurangi jejak karbon harian? Gampang, dikutip dari Zerowaste.id ini daftar aktivitas yang bisa dilakukan untuk berkontribusi mengurangi jejak karbon:
- Kurangi mengkonsumsi bahan makanan import, mulai gunakan makanan lokal.
- Bawa tas belanjaan sendiri ketika ingin berbelanja.
- Perbanyak makanan sayur dan buah.
- Mengurangi konsumsi makanan dengan jejak karbon yang tinggi (misalnya daging atau kopi).
- Jangan menebang pohon sembarangan, dan mulailah menanam pohon penghasil oksigen
- Untuk perjalanan yang kurang dari 2 km, usahakan untuk tetap berjalan kaki atau naik sepeda.
- Pilih kendaraan bermotor yang hemat bahan bakar.
- Pilih jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sesuai dengan mesin kendaraan agar lebih hemat energi dan emisi karbonnya terkendali.
- Biasanya diri untuk hemat energi listrik (cabut arus listrik yang tidak terpakai).
- Gunakan air bersih seefektif mungkin (jangan membuang-buang air bersih).
- Gunakan peralatan elektronik yang hemat energi listrik.
- Beli barang yang benar-benar kamu butuhkan.
- Pisahkan sampah organik dan anorganik.
- Kompos sisa sampah agar tidak menumpuk di TPA.
Daftarnya juga masih bisa bertambah seiring temuan trik dan tips baru dari para ilmuwan dan para pegiat lingkungan. Namun apapun itu, intinya untuk mengurangi jejak karbon, anda cuma harus mengurangi jumlah energi yang digunakan, makan lebih sedikit produk hewani, berbelanja secara lokal, bepergian dengan cerdas, dan mengurangi limbah atau sampah. Setiap hari. Bukan sesuatu yang sulit dan bukan perubahan ekstrim yang bakal menyesengsarakan hidup anda. It's cost nothing. Bahkan jika bencana perubahan iklim ternyata hanyalah hoax, perbanyak makan sayur atau buah dan membawa tas belanjaan sendiri ketika ingin berbelanja tetap merupakan perilaku yang menguntungkan. Bahkan jika jejak karbon hanyalah teori konspirasi yang tidak berdasar, memilih kendaraan bermotor yang hemaat bahan bakar dan membiasakan diri untuk hemat listrik adalah menguntungkan bukan? Iya, sangat menguntungkan untuk pelakunya dan tidak ada ruginya sama sekali.
Namun sayangnya sebagian besar orang tidak termotivasi untuk melakukan tindakan positif ini. Ada beberapa hal yang mungkin jadi penyebabnya. Pertama, orang belum punya sense of urgency terhadap hal ini. Pegiat lingkungan dan para ilmuwan ikut andil dalam kegagalan ini. Jilles van den Beukel, ahli geofisika dan mantan ahli geosains untuk Shell, berpendapat bahwa kita tidak boleh mendekati masalah iklim secara dogmatis dan tidak memberikan pilihan-pilihan untuk menyelesaikannya. Pernahkah para pegiat lingkungan atau ilmuwan yang aktif mengkampanyekan dampak perubahan iklim pernah mengkampanyekan jika pengurangan emisi karbon punya benefit ekonomi? Mungkin pernah, tapi kelihatannya tidak segencar mengkampanyekan dampak buruk emisi karbon. Perubahan iklim memang masalah yang melibatkan kombinasi faktor yang membuat orang sulit termotivasi. Mirip dengan masalah rokok. Orang diberi pilihan untuk melakukan trade-off antara manfaat jangka pendek dan jangka panjang. Manfaat jangka pendek hampir pasti jadi pemenangnya. Bahaya nikotin yang baru dirasakan dalam jangka panjang, sementara dalam jangka pendek memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi orang yang mengkonsumsinya. Perilaku boros bensin atau boros listrik juga sudah seperti candu nikotin, memberikan rasa nyaman, orang tidak perlu terlalu berhitung saat hendak menggunakan bensin atau listrik. Berhitung adalah kerumitan yang membuat orang tidak nyaman.
Kedua, dampak jejak karbon yang berlebihan terhadap perubahan iklim sampai pada naiknya air permukaan air laut, meski sudah mulai terjadi, masih dipersepsikan "bukan sebuah ancaman" yang harus diantisipasi sedari sekarang. Asumsi "Belanda masih jauh" atau " aku sudah mati saat bencana itu terjadi", atau "umurku tidak cukup panjang untuk melihat bencana itu" membuat orang tidak mempunyai "sense of urgency" terhadap fenomena ini.. Mereka berpikir hidup sekarang lebih penting untuk dinikmati daripada memikirkan bencana dimasa depan, yang belum tentu dirinya berada disitu. Akibatnya, keperdulian terhadap isu ini tidak ada. Boro-boro mulai belajar menggunakan karbon kalkulator, menganggap emisi karbon sebagai sebuah potensi bahaya saja tidak.
Jadi kalau kita kembali ke pertanyaan "Bagaimana kita konsisten mengurangi jejak karbon harian?", jawabannya kita harus konsisten meyakinkan orang bahwa bencana lingkungan akibat jejak karbon yang tidak terkendali itu nyata. Yang tidak kalah penting, kita harus mampu meyakinkan orang bahwa membudayakan perilaku ramah lingkungan bukanlah sesuatu yang sulit. Apa susahnya memilih kendaraan bermotor yang hemat bahan bakar, apa sulitnya beli barang yang benar-benar kamu butuhkan ? Ini tugas semua orang yang peduli untuk mengubah persepsi orang yang tidak peduli. Kita perlu meyakinkan orang bahwa semuanya ini sebenarnya adalah sesuatu yang sederhana.
Jangan Cuma Menyalahkan Perilaku Orang (Household)
Perilaku individu yang sadar iklim memang baik dan berdampak baik bagi lingkungan -- tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan planet ini. Kita membutuhkan tindakan kolektif yang lebih konkret dari sekedar kampanye hijau. Jika anda membaca data statistik tentang emisi karbon , anda akan tahu isu ini akan mengarah kemana. Laporan dari The Guardian pada 2015 (https://www.theguardian.com/sustainable-business/2017/jul/10/100-fossil-fuel-companies-investors-responsible-71-global-emissions-cdp-study-climate-change) mengungkapkan 100 perusahaan energi menyumbang 71% emisi global dari tahun 1988 sampai 2015. Sampai 2021 masuk beberapa perusahaan baru, namun pemain lama juga masih bertengger di dalam ranking teratas. Point-nya apa? Meski 100 persen pelanggan Indomaret Alfamart sudah bawa tas sendiri-sendiri, meski bapak-bapak sudah mulai menggunakan mobil paling irit, meski emak-emak sudah sering diet dan sering makan buah dan sayur, meski netizen NKRI semuanya kompak dan nekad beli produk lokal, jika tidak ada kebijakan global membatasi produksi "fossil fuel" dari perusahaan besar, sudah pasti "cita-cita hijau" ini akan gagal.
Bahan bakar fosil terbentuk dari penguraian organisme berbasis karbon yang terkubur yang mati jutaan tahun lalu. Mereka menciptakan endapan kaya karbon yang diekstraksi dan dibakar untuk energi. Mereka tidak terbarukan dan saat ini memasok sekitar 80% energi dunia. Mereka juga digunakan untuk membuat plastik, baja, dan sejumlah besar produk. Ada tiga jenis bahan bakar fosil - batubara, minyak dan gas yang punya dampak besar terhadap perubahan iklim. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (The Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) pada 2018 (https://www.ipcc.ch/report/carbon-dioxide-capture-and-storage/) mengungkapkan bahwa emisi dari bahan bakar fosil adalah penyebab dominan pemanasan global, 89% emisi CO2 global berasal dari bahan bakar fosil dan industri. Kembali lagi ke pertanyaan; Bagaimana kita konsisten mengurangi jejak karbon harian? Jawabannya mungkin bisa jadi sebuah pertanyaan juga; Sudahkah kita berbicara dengan perusahaan energi, memintanya bertransisi ke energi bersih? Sudahkah kita ikut mempertimbangkan berapa besar uang yang digulirkan untuk melakukan transisi? Maukah pemerintah memberikan insentif? Kali ini rasanya lebih rumit daripada mengajak orang memisahkan sampah organik dan anorganik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H