Suara Perut Xela
Oleh Widodo, S.Pd.
" Kraaakkk ..... " suara daun pintu jendela kelas itu dibuka Xela dengan penuh amarah. Aku segera bergegas lari menghampirinya.
" Saya mau mati, biarkan saya lompat dari jendela ini !" teriak Xela. Jantungku berdebar -- debar mendengarnya. Sebagai guru baru di sekolah itu, aku mendapatkan tantangan baru.
" Mengapa bunuh diri ? Jika arwahmu gentayangan bagaimana ?"
" Jika arwahmu ketemu nini pelet, babi ngepet, kuntilanak, genderuwo, dan wewe gombel, terus apa kamu gak takut, gitu ?" bentakku padanya sekeras suara petir memecahkan keheningan suasana di pagi hari yang teduh itu. Saya memegangi kedua Pundak Xela, agar tidak terjun ke bawah gedung sekolah lantai tiga itu. Amarah anak gadis itu makin memuncak dan mengamuk. Botol minum di mejanya dibanting. Makanan dilempar hingga berhamburan di depan kelas. Beruntung teman-teman sekelasnya sudah paham bahwa ada salah satu siswi temannya memiliki kebiasaan mengamuk. Maka ketika Xela mengamuk suasana kelas tetap tenang. Hanya ketua kelas yang membantu guru maju ke depan ikut berusaha menenangkan Xela, sementara siswa yang lain tetap duduk di tempatnya masing-masing.
" Sudahlah, sebaiknya Xela cerita dulu, mengapa marah ? Siapa penyebabnya ? Berbicara jangan menggunakan suara perut-mu sendiri !"pintaku pada Xela.
Saya menarik tanggannya ke luar kelas, menuju ruang tamu sekolah yang sepi. Benar, ketika Xela berada di ruang tamu sekolah hatinya sedikit tenang. Dengan napas terengah engah menahan emosi Xela bercerita dengan berdiri karena tidak mau duduk.
" Saya marah karena Revo mengatai saya tidak punya ayah. Saya anak haram, anak tidak jelas." kata Xela memberikan penjelasan. Ini dia penyebabnya. Revo saya panggil.
Kedua murid itu akan saya nasihati. Mereka bersalaman, saling meminta maaf. Selesai masalah, pikirku penuh harapan.
***